Minggu, 20 Agustus 2017

Hujjah Maulud Nabi SAW.



MUQADIMAH

Peringatan maulid nabi pada setiap Rabi’ul Awwal diselenggarakan oleh mayoritas kaum muslimin  di berbagai belahan dunia. Dalam acara tersebut biasanya dibacakan sejarah atau biografi kehidupan Nabi Muhammad mulai dari kelahiran hingga wafatnya.
Dalam konteks pengalaman bertradisi muslim Indonesia  acara ini dilestarikan oleh  mayoritas muslim Indonesia pada bulan tertentu yang berkesesuaian dengan Rabi'ul Awwal, apalagi setelah diberlakukannya 12 Rabi'ul Awwal sebagai hari libur nasional yang sejajar dengan hari besar lainnya, seperti yang tercatat di dalam kalender pemerintah Indonesia.
Peringatan maulid oleh masyarakat Islam dikemas dalam bentuk pengajian dan kajian Islam di mushola dan masjid. Pun, dirayakan  berbagai instansi, baik pemerintahan maupun swasta, dengan  aneka ragam acara, mulai dari  pagelaran budaya masing-masing daerah yang bernuansa Islami sampai pada pengajian yang berisi mau'idlah hasanah (nasehat yang baik) tentang sejarah teladan Nabi Muhammad sebagai acara inti.
Sebenarnya peringatan maulid atau kelahiran nabi termasuk tadisi baru, yang belum pernah terjadi pada masa beliau  masih hidup, juga setelahnya. Bid’ah hasanah ini sebagaimana dinyatakan pakar Islam asal Libanon Syaikh Abdullah al-Harary terjadi pada awal tahun enam ratus hijriah oleh Penguasa Irbil dari Irak, Raja  al-Mudhaffar Abu Sa'id Al-Kukburiy bin Zainuddin Ali Bin Buktikin (w. 630 H/1232 M) yang terkenal alim, ahli taqwa, pemberani dan bermadzhab Ahlissunnah wal Jama’ah. Untuk peringatan ini raja mengumpulkan banyak ulama dari kalangan ahli hadits, para shufi dan sebagainya. Prakarsa ini kemudian dinyatakan terpuji oleh para ulama dari penjuru timur hingga barat, misalnya oleh Ibn Hajar Al-Asqalany ( 793-852 H/1391-1448 M ), Al-Hafidz as-Sakhawy (w. 902 H), dan Al-Hafidz as-Suyuthy (Al-Harary, Sharihul Bayan, Juz I, h. 286 )
Al Hafidz as-Sakhawy, murid Ibn Hajar Al-Asqalany   menuturkan bahwa peringatan maulid nabi ini belum pernah terjadi pada masa ulama salaf pada  abad ke tiga hijri, hal ini terjadi setelah abad itu, di mana masyarakat muslim dari segala penjuru senantiasa memperingatinya, dan pada malam harinya mereka berderma dengan aneka shadaqah dan membaca sejarah kelahiran nabi (Al-Ajwibah al Mardhiyyah, Juz III, h. 1116- 1120).



DALIL BOLEHNYA
MEMPERINGATI
MAULID NABI

Hukum memperingati maulid nabi dapat dilihat dari adanya hal-hal sebagai berikut:
a). Jika dilihat dari tindakan perayaannya, maka statusnya dapat dikategorikan sebagai hal baru (bid'ah).
b). Jika dilihat dari kandungan di dalam perayaannya yang bernilai hasanah (positif), maka para ahli bersepakat untuk mengatakan bahwa perayaan peringatan Maulid Nabi Muhammad adalah termasuk bid'ah hasanah, yang hukumnya adalah mubah (boleh), bahkan bisa berubah menjadi sunnah (dianjurkan). Karena setiap sesuatu yang tidak pernah dilakukan ulama’ salaf dulu, tidak semuanya bid’ah munkarat yang diharamkan.
Dalil Al-Quran
1.             Pertama, bahwa bersuka ria serta berbahagia menyambut kedatangan beliau merupakan perintah Allah Ta’ala.
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذ لِكَ فَلْيَفْرَحُوا
  Katakanlah: Dengan karunia Allah SWT dan Rahmat-Nya, hendaklah mengerti dengan itu mereka bergembira (Q.S Yunus: 58).
      Dan sesungguhnya Allah ta’ala meme rintahkan kepada kita sekalian agar supaya bergembira dengan datangnya karunia (rahmat), dan Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam merupakan karunia  terbesar Allah, sebagaimana firman Allah;
وَمَا اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
      “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiya’ : 107).
2.             Bahwa memperingati Maulid Nabi shallallahu ‘alaih wasallam adalah sekaligus untuk membaca shalawat serta keselamatan (rahmat) kepada Rasulullah. Hal tersebut sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُوْنَ عَلَى النَّبِىّ , يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا
      “Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (Q.S. Al-Ahzab : 56 )
3.             Sesungguhnya memperingati Maulid Nabi itu mengandung perkumpulan, dzikir, shadaqah dan mengagungkan Nabi. Maka hal tersebut adalah perbuatan sunnah dan merupakan tuntunan syari’at serta terpuji. Allah  berfirman:
وَكلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَتْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتْ بِهِ فُؤَادَكَ . الأية
      “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu”. (Q.S. Huud : 120).
      Maka tampaklah dari ayat tersebut, bahwa cerita para rasul mengandung suatu hikmah, yaitu menenteramkan hati Nabi; maka sudah pasti kita juga membutuhkan sesuatu yang menenteramkan hati kita dengan berita-berita beliau.
4.             Peringatan maulid Nabi merupakan wahana untuk mengagungkan dan menjunjung tinggi kedudukan beliau. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala :
يَآاَيُّهَا اَلنَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَ مُبَشِرًا وَنَذِيْرًا لِتُؤْمِنُواْ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَتُعَزِّرُوْهُ وَتُوَقِّرُوْهُ
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama) Nya, dan membesarkan-Nya.” (Q.S. Fath: 8-9).
            Mengagungkan Rasulullah meru pakan bagian dari mengagungkan Allah ta’ala, sebagaimana taat kepada beliau merupakan taat kepada Allah, dan mencintai beliau merupakan cinta kepada-Nya.
      Allah berfirman :
مَنْ يُطعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ الله
“Barangsiapa yang mena’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mena’ati Allah.” (Q.S. An Nisa: 80).
Allah berfirman
الَّذِيْنَ يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ الله
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah.” (Q.S. Fath: 10).
Allah berfirman
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِ يُحْبِبْكُمُ الله
      “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu semua.” (Q.S. Ali Imron: 31).

5.             Allah berfirman dalam Al-Qur’anul Karim :
فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : Maka orang yang beriman kepada Muhammad, m emuliakanya, mengikutinya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS. Al-A’raf, 157).
            Di dalam ayat ini dinyatakan dengan tegas, bahwa orang yang memuliakan Nabi Muhammad adalah orang yang beruntung. Merayakan Maulid Nabi termasuk dalam rangka memuliakannya, yang sudah pasti orang yang merayakannya itu akan mendapatkan pahala di akhirat nanti.
      Allah berfirman :
وَقَالَ اللّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلاَةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنتُم بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً لَّأُكَفِّرَنَّ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَار
            Artinya : Dan Allah berfirman, “Aku bersamamu.” Sungguh, jika kamu melaksanakan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu membantu mereka (memuliakaan mereka) dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, pasti akan Aku hapus kesalahan-kesalahanmu, dan pasti akan Aku masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai  (QS. Al-Ma’idah: 12).
      Arti azzartumuhum dalam ayat di atas menurut Syekh Ibnu Jarir At-Thabary adalah  “memuliakan mereka” ( Lihat Tafsir al-Thabari , juz 5 hal. 151). Orang yang memuliakan Nabi akan dimasukkan surga, sedang merayakan maulid Nabi adalah dalam rangka memuliakan beliau.

Dalil Hadis
1.             Bahwa Rasulullah selalu memuliakan hari kelahirannya, beliau bersyukur kepada Allah ta’ala pada hari tersebut atas nikmat terbesar-Nya yang menyebabkan keberadaan beliau, dan sebagai manifestasi hal tersebut, beliau selalu berpuasa, sebagaimana hadits yang  disandarkan dari Abi Qatadah:
عَنْ اَبِى قَتَادَةَ الاَنْصَارِى رَضِي الله عنه اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى الله عليه وسلّم  سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ اُنْزِلَ عَلَيَّ. رواه مسلم
Dari Abi Qatadah al-Anshary, sesungguhnya Rasulullah Shallallah ‘alaih wasallam ditanya tentang puasa senin (yang sudah menjadi kebiasaan beliau), lalu beliau  menjawab bahwa pada hari itu aku dilahirkan dan (pada hari itu pula) wahyu diturunkan (Allah Ta’ala) kepadaku. H.R. Muslim dalam Shahih Muslim bab Puasa [1977].
  Pengertian di atas menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW memperingati hari kelahiran beliau. Metode atau  cara dapat  berbeda-beda tetapi maksudnya sama, baik itu dengan cara berpuasa, memberikan makanan dan berkumpul untuk menyebut serta membaca shalawat atau mendengarkan sejarah Rasulullah shallaLlahu ‘alaih wasallam.
2.             Bahwa memperingati Maulid Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaih wasallam  merupakan ekspresi  kegembiraan serta kebahagiaan dengan sebab kelahiran dan kehadiran Rasulullah. Bahkan mengingati hari lahir nabi bermanfaat pula bagi paman Rasul.
      Imam al-Bukhari telah menerangkan, bahwa Abu Lahab diringankan siksanya tiap-tiap Senin karena telah memerdekakan budaknya; Tsuwaybah (mantan budak Abu Lahab yang kemudian menjadi ibu susuan Rasulullah) sebagai ungkapan kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad SAW. Jadi Abu Lahab yang kafir saja diringankan siksanya karena kegembiraannya menyambut kelahiran Nabi, apalagi muslim yang menyambut dan bergembira atas kelahiran Nabi lebih patut mendapatkan pahala (Syekh ‘Ali Jum’ah dalam Fatawa Ashriyyah, hal 468). 
   Cerita ini juga diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari  bab Nikah, serta dikutip  al-Hafidz Ibnu Hajar Dalam kitab  Fath al-Bari, diriwayatkan oleh Imam Abdur Razaq Ash-Shan’ani dalam Kitab Al- Mushannaf,  Juz 7 halaman 478, al-Hafidh dalam kitab Dalailun Nubuwah, Ibnu Katsir dalam Ad-Diba, Asy-Syaibani dalam kitab Hadaiq al Anwaar, Juz 1 halaman 134, al-Hafidz  al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah, Juz 9 halaman 76, Ibnu Hisyam dan Suhaely dalam kitab Bahjah al-Mahafil, Juz 1 halaman 41 dan Al-Hafidz Al- Baihaqi (Sayyid Alwi Al-Maliki, Hawlal Ihtifal bi Mawlidin Nabi).
3.             Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam selalu mengaitkan masa (zaman) dengan kejadian-kejadian keagamaan besar yang telah lewat, bila masa tersebut telah dilewatinya, beliau selalu memperingati dan memuliakan hari tersebut.
      Hal tersebut sebagaimana yang beliau alami sendiri sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa saat Rasulullah SAW sampai ke kota Madinah al-Munawwarah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa hari ‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram), beliau bertanya tentang hal tersebut, dan mereka menjawab, bahwa mereka berpuasa karena Allah SWT telah menyelamatkan nabi mereka dan menenggelamkan musuh-musuh mereka, karena dengan demikian, mereka berpuasa sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat kemenangan tersebut. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Kita lebih utama untuk memuliakan Musa As.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkan puasa di hari ‘Asyura’.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. رواه البخارى ومسلم

            Artinya : “Dari Ibnu Abbas R.a. beliau berkata, bahwasanya Rasulullah ketika tiba di Madinah beliau dapati di sana seorang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Nabi bertanya kepada mereka : Hari apakah yang kalian puasakan ini? Jawab mereka : Ini hari besar di mana Allah telah membebaskan Musa dan kaumnya dan telah menengge lamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Musa berpuasa pada hari semacam ini  karena bersyukur kepada Allah, dan kami pun memuasakanya pula. Lalu Rasulullah Saw Bersabda : Kami lebih berhak dan lebih patut mengikuti Musa dari pada kalian.Maka Nabi  berpuasa pada hari ‘Asyura dan beliau memerintahkan umat berpuasa pada hari itu (H.R Bukhari dan Muslim sebagaimana dinukil Syekh ‘Ali Jum’ah dalam Fatawa Ashriyyah, hal 468).
4.             Sesungguhnya memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan suatu hal yang dianggap bagus oleh mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dan kaum muslimin di seluruh dunia. Perbuatan tersebut telah dilakukan oleh semua pihak dan mendapatkan tuntunan secara syar’i karena ada dasar (landasan) yang diambil dari hadits Ibnu Mas’ud yang merupakan hadits mauquf.
مَا رَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَارَآهُ المُسْلِمُوْنَ قَبِيْحًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ قَبِيْحٌ
      “Sesuatu yang menurut orang-orang Islam baik, maka baik pula di sisi Allah; dan sesuatu yang menurut orang-orang Islam jelek, maka jelek pulalah di sisi Allah”. (H.R. Ahmad sebagaimana dikutip Sayyid Alwi Al-Maliki dalam Hawlal Ihtifal bi Mawlidin Nabi).
5.             Para sahabat R.A. adalah teladan yang paling mulia dalam mencintai dan mengagungkan Rasulullah SAW. Imam Al-Bukhari dan lainnya dalam kisah Al-Khudaibiyyah meriwayatkan, “Sesungguh nya Urwah bin Mas’ud as-Tsaqafi ketika ditugaskan oleh orang-orang Quraisy menghadap Rasulullah SAW, melihat secara langsung sikap ta’dhim (pengagungan) para sahabat kepada beliau. Ketika kembali kepada orang-orang Quraisy ia berkata pada kaumnya : Hai kaumku, demi Allah, aku sering diutus menghadap kisra dan kaisar juga pada raja Negus, tapi aku sama sekali tidak pernah melihat seorang raja diagungkan oleh kawan-kawannya, seperti sahabat-sahabat Muhammad yang mengagungkan beliau. Sesungguhnya Muhammad tidak berdahak kecuali dahaknya jatuh pada telapak  tangan salah satu di antara mereka, lalu mengusapkan dahak itu ke wajah dan tangannya. Apabila beliau memerintah kan mereka tentang suatu perkara, maka mereka cepat-cepat melaksanakan. Apa bila beliau berwudlu, maka hampir mere ka bertengkar karena berebut sisa air wudlunya. Apabila beliau berbicara, mereka diam di hadapannya dan mereka tidak mau mengarahkan pandangan ke arahnya, karena ta’dhim padanya.”
      Ada banyak alasan dan hujjah dari hadis, atsar serta  kisah-kisah para saha bat yang dapat dijadikan landasan kebolehan memperingati maulid Nabi. Antara lain dapat dikaji dalam kitab Hawlal Ihtifal bi Mawlidin Nabi dan lain-lain.

Pendapat Para Ulama
1.        Imam Al-Hafidz As-Suyuthi sebagaimana disebut dalam kitab Tarsyihul Mustafidin, hal. 325-326.
 (تَنْبِيْهٌ) فِيْ بَابِ الوَلِيْمَةِ مِنْ فَتَاوَى السُّيُوْطِى سُئِلَ عَنْ عَمَلِ مَوْلُوْدِ النَبَوِيْ فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ الَاوَّلِ مَا حُكْمُهُ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِأَنَّ أَصْلَ المَوْلُوْدِ الَّذِىْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الاَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِىْ مَدْحِ أَمْرِ النَّبِىْ وَمَا وَقَعَ فِىْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سَمَاطًا يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِى يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرَ النَّبِى وَإِظْهَارِ الفَرَحِ وَ الإِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ - إِلَى أَنْ قَالَ -  وَأَمَّا مَا يَتَّبِعُ ذَلِكَ مِنَ السَّمَاعِ وَاللَّهْوِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَيَنْبَغِى أَنْ يُقَالَ مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ مُبَاحًا بِحَيْثُ يَتَعَيَّنُ للِسُّرُوْرِ بِذَلِكَ اليَوْمِ فَلاَ بَأْسَ بِإِلْحَاقِهِ بِهِ وَمَا كَانَ حَرَامًا اَوْ مَكْرُوْهًا فَيَمْنَعُ وَكَذَلِكَ مَا كَانَ خِلَافُ اْلأُوْلَى اهـ (تَرْشِيْحُ المُسْتَفِدِيْنَ : 325-326)

(peringatan) di dalam bab walimah dari fatwa Imam Suyuthi ra bahwa beliau pernah ditanya hukum tentang peringatan maulid nabawi pada bulan Rabi’ul Awwal, apakah pelakunya mendapatkan pahala? Beliau menjawab bahwa asal perayaan maulid nabi Muhammad di mana masyarakat berkumpul, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, kisah-kisah teladan, kemudian menghidangkana makanan dan dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang, dan hanya itu yang dilakukan. Semua itu termasuk bid’ah hasanah, orang yang melakukannya mendapatkan pahala karena mengagungkan derajat dan kedudukan Nabi, menampakkan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad yang mulia.[1]
2.        Sayyid Alwi Al-Hasani Al-Maliki dalam Hawlal Ihtifal, hal. 21.
الحَادِىْ وَالعِشْرُوْنَ كُلُّ مَا ذَكَرْنَاهُ سَابِقًا مِنَ الوُجُوْهِ فِىْ مَشْرُوْعِيَةِ المَوْلِدِ إِنَّمَا هُوَ فِىْ المَوْلِدِ الَّذِى هُوَ خَلَا مِنَ المُنْكَرَاتِ المَذْمُوْمَةِ الَّتِى يَجِبُ اْلِإنْكَارُ عَلَيْهَا أَمَّا إِذَا اِشْتَمَلَ المَوْلِدُ عَلَى شَيْئٍ مِمَّا يَجِبُ الإِنْكَارُ عَلَيْهِ كَاخْتِلَاطِ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَارْتِكاَبِ المَحْرَمَاتِ وَكَثْرَةِ الإِسْرَافِ مِمَّا لَا يَرْضَى بِهِ صَاحِبُ المَوْلِدِ الشَّرِيْفِ فَهَذَا لَاشَكَّ فِىْ تَحْرِيْمِهِ وَمَنْعِهِ لِمَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ مِنَ المَحْرَمَاتِ لَكِنْ تَحْرِيْمُهُ حِيْنَئِذٍ يَكُوْنُ عَارِضِيًّا لَا ذَاتِيًّا كَمَا لَا يُخَفَى عَلَى مَنْ تَأَمَّلَ ذَلِكَ. (حَوْلُ الإِحْتِفَالِ بِمَوْلِدِ النَّبِي)
Alasan ke sebelas, apa yang telah kami paparkan di atas dari aneka alas an disyariatkannya peringatan maulid nabi fokusnya pada peringatan maulid yang sunyi dari kemungkaran yang tercela yang wajib diingkari. Jadi perayaan maulid yang memuat unsur kemungkaran seperti percampuran laki-laki dan perempuan, dan melakukan hal-hal yang diharamkan serta keberlebihan dalam penyelenggaraan dari sesuatu yang tidak diridai oleh pemilik maulid yang mulia, maka semua itu tidak diragukan lagi tentang keharamannya. Ketidakbolehan memperi ngati maulid itu sebenarnya karena ada unsur keharaman eksternal (‘aridliyyan), bukan haram lidzatihi (bukan karena keharaman substansi peringatan maulid nya).   
3.        Syekh Ibnu Hajar Al-Haytsami dalam Al-Hawy lil Fatawy, hal 228-229.
وَحَاصِلُ مَا ذَكَرْنَاهُ لَمْ يُذَمُّ المَوْلِدُ بَلْ ذُمَّ مَا يَحْتَوِيْ عَلَيْهِ مِنَ المَحْرَمَاتِ وَالمُنْكَرَاتِ وَأَوَّلُ كَلاَمِهِ صَرِيْحٌ فِىْ أَنَّهُ يَنْبَغِيْ أَنْ يَخُصَّ هَذَا الشَهْرُ بِزِيَادَةِ فِعْلِ البِرِّ وَكَثْرَةِ الخَيْرَاتِ وَالصَّدَقَاتِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ وُجُوْهِ القُرُبَاتِ وَهَذَا هُوَ عَمَلُ المَوْلِدِ الَّذِى اِسْتَحْسَنَاهُ فَإِنَّهُ لَيْسَ فِيْهِ شَيْئٌ سِوَى قِرَاءَةِ القُرْآنِ وَإِطْعَامٍ وَذَلِكَ خَيْرٌ وَبِرٌّ وَقُرْبَةٌ وَأَمَّا قَوْلُهُ آخِرًا إِنَّهُ بِدْعَةٌ فَإِمَّا أَنْ يَكُوْنَ مُنَاقِضًا لِمَا تَقَدَّمَ أَوْ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ كَمَا تَقَدَّمَ تَقْرِيْرُهُ فِى صَدْرِ الكِتَابِ أَوْ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّ فِعْلَ ذَلِكَ خَيْرٌ وَالبِدْعَةُ مِنْهُ نِيَّةُ المَوْلِدِ كَمَا أَشَارَ إِلَيْهِ بِقَوْلِهِ فَهُوَ بِدْعَةٌ بِنَفْسٍ نِيَّتُهُ فَقَطْ وَلَمْ يُكْرَهُ عَمَلُ الطَّعَامِ وَدُعَاءُ الإِخْوَانِ إِلَيْهِ وَهَذَا حَقَّقَ النَّظَرُ لَا يَجْتَمِعُ مَعَ أَوَّلِ كَلَامِهِ حَثَّ فِيْهِ عَلَى زِيَادَةِ فِعْلِ البِرِّ وَمَا ذِكْرُكَ مَعَهُ عَلَى وَجْهِ الشُكْرِ للهِ تَعَالَى إِذْ أَوْجَدَ فِيْ هَذَا الشَّهْرِ الشَّرِيْفِ سَيِّدِ المُرْسَلِيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا هُوَ مَعْنَى نِيَّةِ المَوْلِدِ فَكَيْفَ يُذَمُّ هَذَا القَدْرِ مَعَ الحَثِّ عَلَيْهِ أَوْ لَا وَأَمَّا مُجَرَّدُ فِعْلِ البِرِّ وَمَا ذُكِرَ مَعَهُ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ أَصْلاً. (الحَاوِى لِلْفَتَاَوي ج : 1 ص :229 – 228)

Hakikat  peringatan maulid nabi itu tidak tercela. Justru yang tercela adalah peringatan yang di dalamnya mengandung hal-hal yang mungkar dan yang dilarang oleh syara’. Permulaan pembicaraan beliau sangat jelas dalam arti seyogyanya perayaan maulid di bulan Rabi’ul Awwal ini dikhususkan dengan menambah perbuatan baik (a’mal birr), memper banyak kebaikan dan amal saleh, sedekah dan sebagainya, dari hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Inilah inti perayaan maulid yang kami anggap baik (istidlalnya berupa istihsan) karena hakekatnya di dalam peringatan itu hanya ada bacaan Qur’an dan memberi makan. Itu semuanya adalah kebaikan dan ibadah….adapun pernyataan beliau di akhir bahwa menyatakan bida’ah, maksudnya adalah bidah hasanah dan tidak bertentangan dengan keterangan di atas.
4.        Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
       Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Mufti madzhab Syafi’i di Mekkah al-Mukarramah, dalam kitab Siratun Nabi yang dikutip Syekh  Syatha dalam ‘Ianatut Thalibin, menyatakan  sebagai berikut
جَرَتْ العَادَةُ أَنَّ النَاسَ اِذَا سَمِعُوْا ذِكْرَ وَضْعِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْمُوْنَهُ تَعْظِيْمًا لَهُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا القِيَامُ مُسْتَحْسَنٌ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ النَبِى صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ كَثِيْرٌ مِنْ عُلَمَاءِ الأُمَّةِ الَّذِيْنَ يَقْتَدِى بِهِمْ . (إِعَانَةُ الطَالِبِيْنَ ج 3 ص 363 )
       Artinya “ Telah berlaku kebiasaan, bahwa apabila orang mendengar kisah nabi dilahirkan, maka ketika nabi lahir itu mereka berdiri bersama-sama untuk menghormat dan membesarkan Nabi Muhammad SAW. Berdiri ini adalah suatu hal yang mustahsan (baik), karena dasarnya ialah membesarkan Nabi Muhammad SAW. Dan sesungguhnya telah mengerjakan hal serupa itu banyak ulama’-ulama’ ikutan ummat (I’anatut Thalibin, Juz 11 halaman 363).



ANJURAN
MEMBACA SHALAWAT

Di dalam hadits banyak disebutkan anjuran membaca shalawat :
قَالَ رسول الله صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَحَطَّ عَنْهُ عَشْرَ خطيئات وَرَفَعَ لَهُ عَشْرَ دَرَجَاتٍ
Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa membaca shalawat kepadaku satu kali, maka Allah memberinya rahmat sebanyak sepuluh dan menghapus sepuluh kesalahannya dan mengangkat derajatnya sampai sepuluh kali.” (H.R. Imam Ahmad).
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوْلَى النَّاسِ بِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاَةً
Nabi SAW bersabda : “Orang yang paling mulia menurutku di hari kiamat nanti adalah yang paling banyak membaca shalawat kepadaku.” (H.R. Imam Ahmad).
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اَنْجاكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ اَهْوَالِهَا وَ مَوَا طِنِهَا أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاَةً
Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling selamat di antara kalian pada hari kiamat nanti dari ketakutan dan keributan hari kiamat adalah siapa di antara mereka yang paling banyak membaca shalawat kepadaku.”
      Demikian al-Qodli ‘Iyadl menyebutkan dalam kitab Asy-Syifa’


FAEDAH
MEMBACA SHALAWAT
     
Berikut adalah beberapa faedah atau kegunaan membaca shalawat Nabi sebagaimana dipaparkan oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam kitab Syaraful Ummah al-Muhammadiyyah
1.             Mengikuti perintah Allah dalam membacanya,
2.             Allah  dan malaikat-Nya juga ikut membacakan shalawat kepada junjungan Nabi agung kita Muhammad dengan pengertian jika bacaan shalawat kita itu berupa do’a dan permohonan, sedang bacaan shalawat Allah pada Nabi adalah berupa pujian dan penghormatan.
3.             Membacanya satu kali, dibalas oleh Allah sepuluh kali,
4.             Diangkat sepuluh pangkat atau derajat,
5.             Ditulis sepuluh kebaikan,
6.             Dihapus sepuluh kesalahan,
7.             Ada harapan do’anya dikabulkan oleh Allah jika do’a tersebut diawali dengan bacaan shalawat,
8.             Menjadi sebab mendapatkan syafa’at dari Nabi jika dibarengi dengan permohonan syafa’at.
Sebagaimana bacaan shalawat berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ فِيْ الاَوَّلِيْنَ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ فِيْ الآخِرِيْنَ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ فِيْ المَلَاءِ الأَعْلَى اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ فِيْ المُرْسَلِيْنَ
اللَّهُمَّ أَعْطِ مُحَمَّدًا الوَسِيْلَةَ وَالشَرَفَ وَالدَرَجَةَ
اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِمُحَمَّدٍ وَلَمْ أَرَهُ فَأَكْرِمْنِىْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رُؤْيَتَهُ وَارْزُقْنِى صُحْبَتَهُ وَتَوَفَّنِى عَلَى مِلَّتِهِ وَاسْقِنِى مِنْ حَوْضِهِ مَسْرَبًا رُوِيًّا سَائِغًا هَنِيْئًا لَااَظْمَأُ بَعْدَهُ أَبَدًا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٍ , اللَّهُمَّ كَمَا آمَنْتُ بِمُحَمَّدٍ وَلَمْ أَرَهُ فَعَرِّفْنِى فِى الجِنَانِ وَجْهَهُ اللَّهُمَّ بَلِّغْ رُوْحَ مُحَمَّدٍ عَنِّى تَحْيَّةً كَثِيْرَةً وَسَلاَمًا

9.             Menjadi sebab diampuni dosa-dosa kita,
10.     Menjadi sebab Allah ta’ala mencukupi hamba-Nya dari segala kesusahan,
11.     Menjadi sebab dekat dengan-Nya besok di hari kiamat,
12.     Menyamai shadaqah,
13.     Menjadi sebab terpenuhinya segala hajat,
14.     Menjadi sebab mendapatkan ‘bisyarah’ (kebahagiaan) berupa surga sebelum meninggal,
15.     Menjadi sebab selamat dari huru-hara di hari kiamat,
16.     Menjadi sebab dijauhkan dari kemiskinan,
17.     Menjadi sebab keberkahan hidup, amal, umur, dan rizkinya,
18.     Menjadi sebab mendapatkan rahmat dan kasih sayang Allah ta’ala,
19.     Dicintai Allah dan Rasul dan sekaligus menjadi sebab mahabbah (kecintaan) kita kepada-Nya, menjadi sebab kokohnya kaki kita ketika melewati Shirat Al-Mustaqim.




PENUTUP

Demikianlah risalah kecil ini kami persembahkan mudah-mudahan bermanfaat dan bisa dijadikan hujjah dalam amaliyah dan tradisi yang sudah beratus-ratus tahun.











Hujjah Peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW
 






Penyusun:
KH. Ahmad Wazir Alie, Lc.
(Wakil Rais Syuriah PCNU Jombang)



Editor:
Mochammad Fuad Nadjib 
(Santri Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar)





Diterbitkan:
LTN-NU Jombang
Awal 2013


[1] Pendapat para ulama dalam kitab Iqtidha’ Shirath al-Mustaqim, Mafahim Yajibu an Tushahhaha, Hushnul Maqshad, dan juga  Al-Hafidz As Sayuthi dalam kitab ‘Ianatut Thalibin  dapat dilihat dalam buku  Landasan Amaliyah NU yang diterbitkan LTN-NU Jombang.

0 komentar:

Posting Komentar

Buku "Who Am I? How I Am"

Judul Buku      : Who Am I? How I Am Penulis            : Mochammad Fuad Nadjib ISBN                 : (masih dalam proses) Sinopsis        ...