MUQADIMAH
Peringatan maulid nabi pada
setiap Rabi’ul Awwal diselenggarakan
oleh mayoritas kaum muslimin di berbagai
belahan dunia. Dalam acara tersebut biasanya dibacakan sejarah atau biografi
kehidupan Nabi Muhammad mulai dari kelahiran hingga wafatnya.
Dalam konteks
pengalaman bertradisi muslim Indonesia acara ini dilestarikan oleh mayoritas muslim Indonesia pada bulan tertentu
yang berkesesuaian dengan Rabi'ul Awwal, apalagi setelah
diberlakukannya 12 Rabi'ul Awwal sebagai hari libur nasional yang sejajar dengan
hari besar lainnya, seperti yang tercatat di dalam kalender pemerintah
Indonesia.
Peringatan maulid oleh masyarakat Islam
dikemas dalam bentuk pengajian dan kajian Islam di mushola dan masjid. Pun, dirayakan
berbagai instansi, baik pemerintahan maupun
swasta, dengan aneka ragam acara, mulai
dari pagelaran budaya masing-masing
daerah yang bernuansa Islami sampai pada pengajian yang berisi mau'idlah hasanah (nasehat yang baik) tentang sejarah teladan Nabi Muhammad sebagai
acara inti.
Sebenarnya peringatan maulid atau
kelahiran nabi
termasuk tadisi baru, yang belum pernah terjadi pada masa beliau masih hidup, juga setelahnya. Bid’ah hasanah
ini sebagaimana dinyatakan pakar Islam asal Libanon Syaikh Abdullah al-Harary
terjadi pada awal tahun enam ratus hijriah oleh Penguasa Irbil dari Irak,
Raja al-Mudhaffar Abu Sa'id Al-Kukburiy
bin Zainuddin Ali Bin Buktikin (w. 630 H/1232 M) yang terkenal alim, ahli
taqwa, pemberani dan bermadzhab Ahlissunnah wal Jama’ah. Untuk peringatan ini
raja mengumpulkan banyak ulama dari kalangan ahli hadits, para shufi dan
sebagainya. Prakarsa ini kemudian dinyatakan terpuji oleh para ulama dari
penjuru timur hingga barat, misalnya oleh Ibn Hajar Al-Asqalany ( 793-852
H/1391-1448 M ), Al-Hafidz as-Sakhawy (w. 902 H), dan Al-Hafidz as-Suyuthy
(Al-Harary, Sharihul Bayan, Juz I, h. 286 )
Al Hafidz as-Sakhawy, murid Ibn Hajar
Al-Asqalany menuturkan bahwa peringatan
maulid nabi ini belum pernah terjadi pada masa ulama salaf pada abad ke tiga hijri, hal ini terjadi setelah
abad itu, di mana masyarakat muslim dari segala penjuru senantiasa
memperingatinya, dan pada malam harinya mereka berderma dengan aneka shadaqah
dan membaca sejarah kelahiran nabi (Al-Ajwibah al Mardhiyyah, Juz III,
h. 1116- 1120).
DALIL BOLEHNYA
MEMPERINGATI
MAULID
NABI
Hukum memperingati maulid nabi dapat dilihat dari adanya
hal-hal sebagai berikut:
a). Jika dilihat dari tindakan perayaannya, maka
statusnya dapat dikategorikan sebagai hal baru (bid'ah).
b).
Jika dilihat dari kandungan di dalam perayaannya yang bernilai hasanah (positif), maka para ahli bersepakat untuk mengatakan bahwa
perayaan peringatan Maulid Nabi Muhammad adalah termasuk bid'ah hasanah, yang hukumnya adalah mubah (boleh), bahkan bisa berubah menjadi sunnah (dianjurkan). Karena setiap sesuatu yang tidak pernah dilakukan ulama’
salaf dulu, tidak semuanya bid’ah
munkarat yang diharamkan.
Dalil Al-Quran
1.
Pertama,
bahwa bersuka ria serta berbahagia menyambut
kedatangan beliau merupakan perintah Allah Ta’ala.
قُلْ
بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذ لِكَ فَلْيَفْرَحُوا
Katakanlah: Dengan karunia Allah SWT dan Rahmat-Nya,
hendaklah mengerti dengan itu mereka bergembira (Q.S Yunus: 58).
Dan sesungguhnya Allah ta’ala meme rintahkan kepada kita sekalian agar supaya bergembira dengan
datangnya karunia (rahmat), dan Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam merupakan karunia
terbesar Allah, sebagaimana firman Allah;
وَمَا
اَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”. (Q.S. Al-Anbiya’ : 107).
2.
Bahwa
memperingati Maulid Nabi shallallahu ‘alaih wasallam adalah
sekaligus untuk membaca shalawat serta keselamatan (rahmat) kepada Rasulullah.
Hal tersebut sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّ
اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُوْنَ عَلَى النَّبِىّ , يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ
امَنُوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi, Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah untuk Nabi, dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (Q.S.
Al-Ahzab : 56 )
3.
Sesungguhnya
memperingati Maulid Nabi itu mengandung perkumpulan, dzikir, shadaqah dan
mengagungkan Nabi. Maka hal tersebut adalah perbuatan sunnah dan merupakan
tuntunan syari’at serta terpuji. Allah berfirman:
وَكلًّا
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَتْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتْ بِهِ فُؤَادَكَ . الأية
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami
ceritakan kepadamu ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu”. (Q.S. Huud : 120).
Maka tampaklah dari ayat tersebut, bahwa cerita
para rasul mengandung suatu hikmah, yaitu menenteramkan hati Nabi; maka sudah
pasti kita juga membutuhkan sesuatu yang menenteramkan hati kita dengan
berita-berita beliau.
4.
Peringatan maulid Nabi merupakan
wahana untuk mengagungkan dan menjunjung tinggi
kedudukan beliau. Dasarnya adalah firman Allah ta’ala :
يَآاَيُّهَا
اَلنَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَ مُبَشِرًا وَنَذِيْرًا
لِتُؤْمِنُواْ بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَتُعَزِّرُوْهُ وَتُوَقِّرُوْهُ
“Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama) Nya, dan membesarkan-Nya.” (Q.S. Fath: 8-9).
Mengagungkan
Rasulullah meru pakan bagian dari mengagungkan Allah ta’ala, sebagaimana
taat kepada beliau merupakan taat kepada Allah, dan mencintai beliau merupakan
cinta kepada-Nya.
Allah
berfirman :
مَنْ
يُطعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ الله
“Barangsiapa
yang mena’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mena’ati Allah.” (Q.S. An Nisa: 80).
Allah berfirman
الَّذِيْنَ
يُبَايِعُوْنَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُوْنَ الله
“Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah.” (Q.S. Fath: 10).
Allah berfirman
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِ يُحْبِبْكُمُ الله
“Katakanlah:
Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu semua.” (Q.S. Ali Imron: 31).
5.
Allah
berfirman dalam Al-Qur’anul Karim :
فَالَّذِينَ
آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ
مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya : Maka orang yang beriman kepada Muhammad, m
emuliakanya, mengikutinya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan
kepadanya (Al-Qur’an) mereka itulah orang-orang yang beruntung.(QS. Al-A’raf, 157).
Di dalam ayat ini dinyatakan dengan tegas, bahwa orang yang
memuliakan Nabi Muhammad adalah orang yang beruntung. Merayakan Maulid Nabi
termasuk dalam rangka memuliakannya, yang sudah pasti orang yang
merayakannya itu akan mendapatkan pahala di akhirat nanti.
Allah berfirman :
وَقَالَ
اللّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلاَةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ
وَآمَنتُم بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً
لَّأُكَفِّرَنَّ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا الأَنْهَار
Artinya : Dan Allah berfirman, “Aku bersamamu.” Sungguh,
jika kamu melaksanakan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada
rasul-rasul-Ku dan kamu membantu mereka (memuliakaan
mereka) dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, pasti akan
Aku hapus kesalahan-kesalahanmu, dan pasti akan Aku masukkan ke dalam surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai
(QS. Al-Ma’idah: 12).
Arti
azzartumuhum dalam ayat di atas menurut Syekh Ibnu Jarir
At-Thabary adalah “memuliakan mereka” ( Lihat Tafsir al-Thabari , juz
5 hal. 151). Orang yang memuliakan Nabi akan dimasukkan surga, sedang
merayakan maulid Nabi adalah dalam rangka memuliakan beliau.
Dalil Hadis
1.
Bahwa
Rasulullah selalu memuliakan hari kelahirannya, beliau bersyukur kepada Allah ta’ala
pada hari tersebut atas nikmat terbesar-Nya yang menyebabkan keberadaan beliau,
dan sebagai manifestasi hal tersebut, beliau selalu berpuasa, sebagaimana
hadits yang disandarkan dari Abi
Qatadah:
عَنْ اَبِى قَتَادَةَ الاَنْصَارِى رَضِي الله عنه
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى الله عليه وسلّم
سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ اُنْزِلَ
عَلَيَّ. رواه مسلم
Dari Abi
Qatadah al-Anshary, sesungguhnya Rasulullah Shallallah ‘alaih wasallam ditanya
tentang puasa senin (yang sudah menjadi kebiasaan beliau), lalu beliau menjawab bahwa pada hari itu aku dilahirkan
dan (pada hari itu pula) wahyu diturunkan (Allah Ta’ala) kepadaku. H.R. Muslim dalam
Shahih
Muslim bab Puasa
[1977].
Pengertian di atas menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW
memperingati hari kelahiran beliau. Metode atau
cara dapat berbeda-beda tetapi
maksudnya sama, baik itu dengan cara berpuasa, memberikan makanan dan berkumpul
untuk menyebut serta membaca shalawat atau mendengarkan sejarah Rasulullah shallaLlahu
‘alaih wasallam.
2.
Bahwa
memperingati Maulid Nabi Muhammad shallaLlahu ‘alaih wasallam merupakan ekspresi kegembiraan serta kebahagiaan dengan sebab
kelahiran dan kehadiran Rasulullah. Bahkan mengingati hari lahir nabi
bermanfaat pula bagi paman Rasul.
Imam al-Bukhari telah
menerangkan, bahwa Abu Lahab diringankan siksanya tiap-tiap Senin karena telah
memerdekakan budaknya; Tsuwaybah (mantan budak Abu Lahab yang kemudian menjadi
ibu susuan Rasulullah) sebagai ungkapan kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad
SAW. Jadi Abu Lahab yang kafir saja diringankan siksanya karena kegembiraannya
menyambut kelahiran Nabi, apalagi muslim yang menyambut dan bergembira atas
kelahiran Nabi lebih patut mendapatkan pahala (Syekh ‘Ali Jum’ah dalam Fatawa Ashriyyah, hal 468).
Cerita ini juga
diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari bab Nikah, serta dikutip al-Hafidz Ibnu Hajar Dalam kitab Fath al-Bari, diriwayatkan oleh Imam
Abdur Razaq Ash-Shan’ani dalam Kitab Al- Mushannaf, Juz 7 halaman 478, al-Hafidh dalam kitab Dalailun
Nubuwah, Ibnu Katsir dalam Ad-Diba, Asy-Syaibani dalam kitab Hadaiq
al Anwaar, Juz 1 halaman
134, al-Hafidz al-Baghawi dalam kitab Syarhus
Sunnah, Juz 9 halaman 76, Ibnu Hisyam dan Suhaely dalam kitab Bahjah
al-Mahafil, Juz 1 halaman 41 dan Al-Hafidz Al- Baihaqi (Sayyid Alwi
Al-Maliki, Hawlal Ihtifal bi Mawlidin
Nabi).
3.
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaih
wasallam selalu mengaitkan masa (zaman) dengan kejadian-kejadian keagamaan
besar yang telah lewat, bila masa tersebut telah dilewatinya, beliau selalu
memperingati dan memuliakan hari tersebut.
Hal tersebut sebagaimana yang beliau alami
sendiri sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa saat Rasulullah SAW sampai ke
kota Madinah al-Munawwarah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa hari
‘Asyura’ (tanggal 10 Muharram), beliau bertanya tentang hal tersebut, dan
mereka menjawab, bahwa mereka berpuasa karena Allah SWT telah menyelamatkan
nabi mereka dan menenggelamkan musuh-musuh mereka, karena dengan demikian,
mereka berpuasa sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat
kemenangan tersebut. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Kita
lebih utama untuk memuliakan Musa As.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkan
puasa di hari ‘Asyura’.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما
- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ
الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ
عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ
فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. رواه البخارى ومسلم
Artinya
: “Dari Ibnu Abbas R.a. beliau berkata, bahwasanya Rasulullah ketika tiba di
Madinah beliau dapati di sana seorang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Maka Nabi bertanya kepada mereka : Hari apakah yang kalian
puasakan ini? Jawab mereka : Ini hari besar di mana Allah telah membebaskan
Musa dan kaumnya dan telah menengge lamkan Fir’aun dan
kaumnya, maka Musa berpuasa pada hari semacam ini karena bersyukur kepada Allah, dan kami pun
memuasakanya pula. Lalu Rasulullah Saw Bersabda : Kami lebih berhak dan lebih
patut mengikuti Musa dari pada kalian.Maka Nabi
berpuasa pada hari ‘Asyura dan beliau memerintahkan umat berpuasa pada
hari itu (H.R Bukhari
dan Muslim sebagaimana dinukil Syekh ‘Ali Jum’ah
dalam Fatawa Ashriyyah, hal 468).
4.
Sesungguhnya
memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan suatu hal yang dianggap bagus
oleh mayoritas ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dan kaum muslimin di seluruh
dunia. Perbuatan tersebut telah dilakukan oleh semua pihak dan mendapatkan
tuntunan secara syar’i karena ada dasar (landasan) yang diambil dari hadits
Ibnu Mas’ud yang merupakan hadits mauquf.
مَا
رَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَارَآهُ
المُسْلِمُوْنَ قَبِيْحًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ قَبِيْحٌ
“Sesuatu yang menurut orang-orang Islam baik, maka baik pula
di sisi Allah; dan sesuatu yang menurut orang-orang Islam jelek, maka jelek
pulalah di sisi Allah”. (H.R. Ahmad
sebagaimana dikutip Sayyid Alwi Al-Maliki dalam Hawlal Ihtifal bi Mawlidin Nabi).
5.
Para
sahabat R.A. adalah teladan yang paling mulia dalam mencintai dan mengagungkan
Rasulullah SAW. Imam Al-Bukhari dan lainnya dalam kisah Al-Khudaibiyyah
meriwayatkan, “Sesungguh nya Urwah bin Mas’ud
as-Tsaqafi ketika ditugaskan oleh orang-orang Quraisy menghadap Rasulullah SAW,
melihat secara langsung sikap ta’dhim (pengagungan) para sahabat kepada beliau.
Ketika kembali kepada orang-orang Quraisy ia berkata pada kaumnya : Hai kaumku,
demi Allah, aku sering diutus menghadap kisra dan kaisar juga pada raja Negus,
tapi aku sama sekali tidak pernah melihat seorang raja diagungkan oleh
kawan-kawannya, seperti sahabat-sahabat Muhammad yang mengagungkan beliau.
Sesungguhnya Muhammad tidak berdahak kecuali dahaknya jatuh pada telapak tangan salah satu di antara mereka, lalu
mengusapkan dahak itu ke wajah dan tangannya. Apabila beliau memerintah kan mereka tentang suatu perkara, maka
mereka cepat-cepat melaksanakan. Apa bila beliau berwudlu, maka hampir mere ka bertengkar karena berebut sisa air
wudlunya. Apabila beliau berbicara, mereka diam di hadapannya dan mereka tidak
mau mengarahkan pandangan ke arahnya, karena ta’dhim padanya.”
Ada banyak alasan dan hujjah dari hadis, atsar
serta kisah-kisah para saha bat yang dapat dijadikan landasan
kebolehan memperingati maulid Nabi. Antara lain dapat dikaji dalam kitab Hawlal
Ihtifal bi Mawlidin Nabi dan lain-lain.
Pendapat Para Ulama
1.
Imam Al-Hafidz
As-Suyuthi sebagaimana disebut dalam kitab Tarsyihul
Mustafidin, hal. 325-326.
(تَنْبِيْهٌ) فِيْ بَابِ
الوَلِيْمَةِ مِنْ فَتَاوَى السُّيُوْطِى سُئِلَ عَنْ عَمَلِ مَوْلُوْدِ النَبَوِيْ
فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ الَاوَّلِ مَا حُكْمُهُ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ ؟ ( فَأَجَابَ
) بِأَنَّ أَصْلَ المَوْلُوْدِ الَّذِىْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ
مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الاَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِىْ مَدْحِ أَمْرِ
النَّبِىْ وَمَا وَقَعَ فِىْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سَمَاطًا
يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنَ البِدَعِ
الحَسَنَةِ الَّتِى يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ
قَدْرَ النَّبِى وَإِظْهَارِ الفَرَحِ وَ الإِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
- إِلَى أَنْ قَالَ - وَأَمَّا مَا يَتَّبِعُ
ذَلِكَ مِنَ السَّمَاعِ وَاللَّهْوِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَيَنْبَغِى أَنْ يُقَالَ مَا
كَانَ مِنْ ذَلِكَ مُبَاحًا بِحَيْثُ يَتَعَيَّنُ للِسُّرُوْرِ بِذَلِكَ اليَوْمِ
فَلاَ بَأْسَ بِإِلْحَاقِهِ بِهِ وَمَا كَانَ حَرَامًا اَوْ مَكْرُوْهًا فَيَمْنَعُ
وَكَذَلِكَ مَا كَانَ خِلَافُ اْلأُوْلَى اهـ (تَرْشِيْحُ المُسْتَفِدِيْنَ :
325-326)
(peringatan) di dalam bab walimah dari fatwa Imam
Suyuthi ra bahwa beliau pernah ditanya hukum tentang peringatan maulid nabawi
pada bulan Rabi’ul Awwal, apakah pelakunya mendapatkan pahala? Beliau menjawab
bahwa asal perayaan maulid nabi Muhammad di mana masyarakat berkumpul, membaca
ayat-ayat Al-Qur’an, kisah-kisah teladan, kemudian menghidangkana makanan dan
dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang, dan hanya itu yang dilakukan.
Semua itu termasuk bid’ah hasanah, orang yang melakukannya mendapatkan pahala
karena mengagungkan derajat dan kedudukan Nabi, menampakkan kegembiraan atas
kelahiran Nabi Muhammad yang mulia.[1]
2.
Sayyid
Alwi Al-Hasani Al-Maliki dalam Hawlal
Ihtifal, hal. 21.
الحَادِىْ
وَالعِشْرُوْنَ كُلُّ مَا ذَكَرْنَاهُ سَابِقًا مِنَ الوُجُوْهِ فِىْ مَشْرُوْعِيَةِ
المَوْلِدِ إِنَّمَا هُوَ فِىْ المَوْلِدِ الَّذِى هُوَ خَلَا
مِنَ المُنْكَرَاتِ المَذْمُوْمَةِ الَّتِى يَجِبُ اْلِإنْكَارُ عَلَيْهَا أَمَّا
إِذَا اِشْتَمَلَ المَوْلِدُ عَلَى شَيْئٍ مِمَّا يَجِبُ الإِنْكَارُ عَلَيْهِ كَاخْتِلَاطِ
الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَارْتِكاَبِ المَحْرَمَاتِ وَكَثْرَةِ الإِسْرَافِ مِمَّا
لَا يَرْضَى بِهِ صَاحِبُ المَوْلِدِ الشَّرِيْفِ فَهَذَا لَاشَكَّ فِىْ تَحْرِيْمِهِ
وَمَنْعِهِ لِمَا اشْتَمَلَ عَلَيْهِ مِنَ المَحْرَمَاتِ لَكِنْ تَحْرِيْمُهُ حِيْنَئِذٍ
يَكُوْنُ عَارِضِيًّا لَا ذَاتِيًّا كَمَا لَا يُخَفَى عَلَى مَنْ تَأَمَّلَ ذَلِكَ. (حَوْلُ الإِحْتِفَالِ بِمَوْلِدِ النَّبِي)
Alasan ke sebelas, apa yang
telah kami paparkan di atas dari aneka alas an disyariatkannya peringatan
maulid nabi fokusnya pada peringatan maulid yang sunyi dari kemungkaran yang
tercela yang wajib diingkari. Jadi perayaan maulid yang memuat unsur
kemungkaran seperti percampuran laki-laki dan perempuan, dan melakukan hal-hal
yang diharamkan serta keberlebihan dalam penyelenggaraan dari sesuatu yang
tidak diridai oleh pemilik maulid yang mulia, maka semua itu tidak diragukan
lagi tentang keharamannya. Ketidakbolehan memperi
ngati maulid itu sebenarnya karena ada unsur keharaman eksternal (‘aridliyyan), bukan haram lidzatihi (bukan karena keharaman
substansi peringatan maulid nya).
3.
Syekh Ibnu
Hajar Al-Haytsami dalam Al-Hawy lil Fatawy, hal 228-229.
وَحَاصِلُ
مَا ذَكَرْنَاهُ لَمْ يُذَمُّ المَوْلِدُ بَلْ ذُمَّ مَا يَحْتَوِيْ عَلَيْهِ مِنَ
المَحْرَمَاتِ وَالمُنْكَرَاتِ وَأَوَّلُ كَلاَمِهِ صَرِيْحٌ فِىْ أَنَّهُ يَنْبَغِيْ
أَنْ يَخُصَّ هَذَا الشَهْرُ بِزِيَادَةِ فِعْلِ البِرِّ وَكَثْرَةِ الخَيْرَاتِ وَالصَّدَقَاتِ
وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ وُجُوْهِ القُرُبَاتِ وَهَذَا هُوَ عَمَلُ المَوْلِدِ الَّذِى
اِسْتَحْسَنَاهُ فَإِنَّهُ لَيْسَ فِيْهِ شَيْئٌ سِوَى
قِرَاءَةِ القُرْآنِ وَإِطْعَامٍ وَذَلِكَ خَيْرٌ وَبِرٌّ وَقُرْبَةٌ وَأَمَّا قَوْلُهُ
آخِرًا إِنَّهُ بِدْعَةٌ فَإِمَّا أَنْ يَكُوْنَ مُنَاقِضًا لِمَا تَقَدَّمَ أَوْ
يُحْمَلُ عَلَى أَنَّهُ بِدْعَةٌ حَسَنَةٌ كَمَا تَقَدَّمَ
تَقْرِيْرُهُ فِى صَدْرِ الكِتَابِ أَوْ يُحْمَلُ عَلَى أَنَّ فِعْلَ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَالبِدْعَةُ مِنْهُ نِيَّةُ المَوْلِدِ كَمَا أَشَارَ إِلَيْهِ بِقَوْلِهِ فَهُوَ
بِدْعَةٌ بِنَفْسٍ نِيَّتُهُ فَقَطْ وَلَمْ يُكْرَهُ عَمَلُ الطَّعَامِ وَدُعَاءُ
الإِخْوَانِ إِلَيْهِ وَهَذَا حَقَّقَ النَّظَرُ لَا يَجْتَمِعُ مَعَ أَوَّلِ كَلَامِهِ
حَثَّ فِيْهِ عَلَى زِيَادَةِ فِعْلِ البِرِّ وَمَا ذِكْرُكَ مَعَهُ عَلَى وَجْهِ
الشُكْرِ للهِ تَعَالَى إِذْ أَوْجَدَ فِيْ هَذَا الشَّهْرِ الشَّرِيْفِ سَيِّدِ
المُرْسَلِيْنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا هُوَ مَعْنَى نِيَّةِ المَوْلِدِ
فَكَيْفَ يُذَمُّ هَذَا القَدْرِ مَعَ الحَثِّ عَلَيْهِ أَوْ لَا وَأَمَّا مُجَرَّدُ
فِعْلِ البِرِّ وَمَا ذُكِرَ مَعَهُ مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ أَصْلاً. (الحَاوِى لِلْفَتَاَوي ج : 1 ص :229 – 228)
Hakikat peringatan maulid nabi itu tidak tercela.
Justru yang tercela adalah peringatan yang di dalamnya mengandung hal-hal yang
mungkar dan yang dilarang oleh syara’. Permulaan pembicaraan beliau sangat
jelas dalam arti seyogyanya perayaan maulid di bulan Rabi’ul Awwal ini
dikhususkan dengan menambah perbuatan baik (a’mal
birr), memper banyak kebaikan dan amal saleh, sedekah dan sebagainya, dari hal-hal yang
bisa mendekatkan diri kepada Allah. Inilah inti perayaan maulid yang kami
anggap baik (istidlalnya berupa istihsan) karena hakekatnya di dalam peringatan
itu hanya ada bacaan Qur’an dan memberi makan. Itu semuanya adalah kebaikan dan
ibadah….adapun pernyataan beliau di akhir bahwa menyatakan bida’ah, maksudnya
adalah bidah hasanah dan tidak bertentangan dengan keterangan di atas.
4.
Syekh
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
Sayyid Ahmad
Zaini Dahlan, Mufti madzhab Syafi’i di Mekkah al-Mukarramah, dalam kitab Siratun
Nabi yang dikutip Syekh Syatha dalam ‘Ianatut Thalibin,
menyatakan sebagai berikut
جَرَتْ
العَادَةُ أَنَّ النَاسَ اِذَا سَمِعُوْا ذِكْرَ وَضْعِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْمُوْنَهُ تَعْظِيْمًا لَهُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا القِيَامُ
مُسْتَحْسَنٌ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ النَبِى صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ كَثِيْرٌ مِنْ عُلَمَاءِ الأُمَّةِ الَّذِيْنَ يَقْتَدِى بِهِمْ
. (إِعَانَةُ الطَالِبِيْنَ ج 3 ص 363 )
Artinya “ Telah berlaku kebiasaan, bahwa apabila orang
mendengar kisah nabi dilahirkan, maka ketika nabi lahir itu mereka berdiri
bersama-sama untuk menghormat dan membesarkan Nabi Muhammad SAW. Berdiri ini
adalah suatu hal yang mustahsan (baik), karena dasarnya ialah
membesarkan Nabi Muhammad SAW. Dan sesungguhnya telah mengerjakan hal serupa
itu banyak ulama’-ulama’ ikutan ummat (I’anatut Thalibin, Juz 11 halaman
363).
ANJURAN
MEMBACA
SHALAWAT
Di
dalam hadits banyak disebutkan anjuran membaca shalawat :
قَالَ
رسول الله صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَحَطَّ عَنْهُ عَشْرَ خطيئات وَرَفَعَ لَهُ
عَشْرَ دَرَجَاتٍ
Nabi SAW bersabda :
“Barangsiapa membaca shalawat kepadaku satu kali, maka Allah memberinya rahmat
sebanyak sepuluh dan menghapus sepuluh kesalahannya dan mengangkat derajatnya
sampai sepuluh kali.” (H.R. Imam Ahmad).
قَالَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوْلَى النَّاسِ بِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ صَلاَةً
Nabi SAW bersabda :
“Orang yang paling mulia menurutku di hari kiamat nanti adalah yang
paling banyak membaca shalawat kepadaku.” (H.R.
Imam Ahmad).
قَالَ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اَنْجاكُمْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ اَهْوَالِهَا وَ مَوَا طِنِهَا أَكْثَرُهُمْ عَلَيَّ
صَلاَةً
Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya orang
yang paling selamat di antara kalian pada hari kiamat nanti dari ketakutan dan
keributan hari kiamat adalah siapa di antara mereka yang paling banyak membaca shalawat kepadaku.”
Demikian
al-Qodli ‘Iyadl menyebutkan dalam kitab Asy-Syifa’
FAEDAH
MEMBACA
SHALAWAT
Berikut adalah beberapa faedah atau kegunaan membaca
shalawat Nabi sebagaimana dipaparkan oleh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dalam
kitab Syaraful Ummah al-Muhammadiyyah
1.
Mengikuti perintah Allah dalam
membacanya,
2.
Allah
dan malaikat-Nya juga ikut membacakan shalawat kepada junjungan Nabi
agung kita Muhammad dengan pengertian jika bacaan shalawat kita itu berupa do’a
dan permohonan, sedang bacaan shalawat Allah pada Nabi adalah berupa pujian dan
penghormatan.
3.
Membacanya satu kali, dibalas oleh
Allah sepuluh kali,
4.
Diangkat sepuluh pangkat atau derajat,
5.
Ditulis sepuluh kebaikan,
6.
Dihapus sepuluh kesalahan,
7.
Ada harapan do’anya dikabulkan oleh
Allah jika do’a tersebut diawali dengan bacaan shalawat,
8.
Menjadi sebab mendapatkan syafa’at dari
Nabi jika dibarengi dengan permohonan syafa’at.
Sebagaimana
bacaan shalawat berikut:
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ فِيْ الاَوَّلِيْنَ
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ فِيْ الآخِرِيْنَ
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ فِيْ المَلَاءِ الأَعْلَى اِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ فِيْ المُرْسَلِيْنَ
اللَّهُمَّ
أَعْطِ مُحَمَّدًا الوَسِيْلَةَ وَالشَرَفَ وَالدَرَجَةَ
اللَّهُمَّ
آمَنْتُ بِمُحَمَّدٍ وَلَمْ أَرَهُ فَأَكْرِمْنِىْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رُؤْيَتَهُ
وَارْزُقْنِى صُحْبَتَهُ وَتَوَفَّنِى عَلَى مِلَّتِهِ وَاسْقِنِى مِنْ حَوْضِهِ مَسْرَبًا
رُوِيًّا سَائِغًا هَنِيْئًا لَااَظْمَأُ بَعْدَهُ أَبَدًا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ
قَدِيْرٍ , اللَّهُمَّ كَمَا آمَنْتُ بِمُحَمَّدٍ وَلَمْ أَرَهُ فَعَرِّفْنِى فِى
الجِنَانِ وَجْهَهُ اللَّهُمَّ بَلِّغْ رُوْحَ مُحَمَّدٍ عَنِّى تَحْيَّةً كَثِيْرَةً
وَسَلاَمًا
9.
Menjadi sebab diampuni dosa-dosa kita,
10.
Menjadi sebab Allah ta’ala mencukupi hamba-Nya dari segala kesusahan,
11.
Menjadi sebab dekat dengan-Nya besok di hari kiamat,
12.
Menyamai shadaqah,
13.
Menjadi sebab terpenuhinya segala
hajat,
14.
Menjadi sebab mendapatkan ‘bisyarah’ (kebahagiaan) berupa surga sebelum
meninggal,
15.
Menjadi sebab selamat dari huru-hara di hari kiamat,
16.
Menjadi sebab dijauhkan dari
kemiskinan,
17.
Menjadi sebab keberkahan hidup, amal,
umur, dan rizkinya,
18.
Menjadi sebab mendapatkan rahmat dan
kasih sayang Allah ta’ala,
19.
Dicintai Allah dan Rasul dan sekaligus
menjadi sebab mahabbah (kecintaan) kita kepada-Nya, menjadi sebab kokohnya kaki
kita ketika melewati Shirat Al-Mustaqim.
PENUTUP
Demikianlah risalah kecil ini kami
persembahkan mudah-mudahan bermanfaat dan bisa dijadikan hujjah dalam amaliyah
dan tradisi yang sudah beratus-ratus tahun.
![]() |
|||
![]() |
Penyusun:
KH. Ahmad Wazir Alie, Lc.
(Wakil Rais Syuriah PCNU Jombang)
Editor:
Mochammad Fuad Nadjib
(Santri Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar)
Diterbitkan:
LTN-NU
Jombang

[1]
Pendapat para ulama dalam kitab Iqtidha’
Shirath al-Mustaqim, Mafahim Yajibu
an Tushahhaha, Hushnul Maqshad,
dan juga Al-Hafidz As Sayuthi dalam
kitab ‘Ianatut Thalibin dapat dilihat dalam buku Landasan
Amaliyah NU yang diterbitkan LTN-NU Jombang.
0 komentar:
Posting Komentar