Jumat, 11 Agustus 2017

Sejarah Pondok Pesantren Kyai Ahyad Kebon Ndalem

Pondok Pesantren (PP) Kebon Ndalem


I.       PP KH. M. Ahyad
Pesantren yang terletak di ujung kampung Kebon Ndalem, tepatnya di jalan Pegirian dan masih dalam lingkup kawasan realigi Sunan Ampel ini lebih dikenal dengan sebutan pondok Kebon Ndalem. Pesantren ini didirikan oleh Kiai Haji Muhammad Ahyad, seorang ulama pedagang dari Jawa Tengah. Tiada dikenal nama PP KH. M. Ahyad sebelumnya. Nama ini baru mulai diperkenalkan setelah lewat masa dua generasi pesantren berdiri.
Konon pesantren ini berdiri di atas tanah milik keluarga Mbah Sentono atau juga dikenal sebagai Kiai Ageng Brondong, leluhur para bangsawan penguasa Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan. Pada masa itu dibolehkan bagi siapapun untuk menempati tanah tersebut dengan syarat bersedia merawat makam Mbah Sentono beserta keluarga yang terletak di Boto Putih, sekitar 500 meter dari Pondok Kebon Ndalem.
Tidak diketahui secara pasti kapan Kiai Ahyad menginjakkan kaki di Surabaya dan lalu mendirikan pesantren di Kebon Ndalem. Namun dari keterangan yang dapat dipegang, semasa Kiai Ahmad Dahlan Ahyad - putra keempat Kiai Ahyad dan pemangku pesantren sesudah beliau - masih kecil Pondok Kebon Ndalem telah berdiri. Kiai Dahlan sendiri dilahirkan pada 23 November 1885.
Dalam mengembangkan pesantrennya Kiai Ahyad dibantu oleh Haji Abdul Kahar, saudagar kaya di daerah Pasar Besar. Beliau adalah penyokong utama awal berdirinya pesantren ini dan juga merupakan kakak dari Mardliyah, istri pertama Kiai Ahyad.
Pasca Kiai Ahyad wafat, Pondok Kebon Ndalem di asuh oleh Kiai Ahmad Dahlan Ahyad. Nama ini sering sekali disalah-tafsirkan sebagai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Selain karena kesamaan nama dan rentang masa, kedua kiai ini juga telah menuliskan namanya dalam tinta emas pergerakan bangsa. Kiai Ahmad Dahlan Yogyakarta dengan Muhammadiyah-nya, dan kiai Ahmad Dahlan Surabaya dengan Taswirul Afkar juga MIAI  (Majelis Islam ‘Ala Indonesia).
Seperti yang tertulis pada Pendaftaran Orang Indonesia jang Terkemoeka jang Ada di Djawa, arsip data orang terkemuka milik Belanda, Kiai Ahyad pertama kali belajar agama melalui ayahnya sendiri, kiai Ahyad. Setelah itu beliau nyantri pada Kiai Kholil Bangkalan untuk belajar Nahwu, Shorof, dan Fiqih. Selepas dari Bangkalan beliau mondok di Pesantren Sidogiri Pasuruan pada masa kepemimpinan kiai Mas Bachar.
Ketika Kiai Dahlan, Kiai Wahab Hasbullah, dan beberapa ulama lainnya yang mempertahankan sistem bermadzhab memutuskan untuk mendirikan madrasah Taswirul Afkar, kiai Dahlan dipercaya sebagai direkturnya. Pada periode awal kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU), beliau ditunjuk sebagai Wakil dari Rais Akbar Kiai Hasyim Asy’ari. Namun dikarenakan Kiai Dahlan lebih berat ngramut Taswirul Afkar dan pondok Kebon Ndalem, beliau memutuskan untuk berhenti berkiprah dalam struktural NU. Pada masa beliaulah Pondok Kebon Ndalem dikenal luas dan mencapai masa puncaknya. Banyak peran bersejarah yang diambil pesantren ini di masa pra-kemerdekaan. Utamanya dalam pendirian Taswirul Afkar dan MIAI.
Pondok Kebon Ndalem pada masa itu juga memiliki santri-santri yang di kemudian hari menjadi ulama yang dikenal luas. Ada 3 santri legendaris dari kiai Dahlan; Kiai Abdul Adhim Rungkut, kiai Abdul Ghoni Rangkah, ayah dari kiai Miftahul Akhyar rais syuriyah PWNU Jawa Timur saat ini, dan kiai Hasan Asykari, atau lebih dikenal sebagai Mbah Mangli. Seorang ulama karismatik, sederhana dan penuh karomah. Pada masa beliau nyantri di Kebon Ndalem, Kiai Mangli bertugas untuk mengisi bak mandi Kiai Dahlan. Beliau juga ikut membantu merawat putra-putri Kiai Dahlan.
Pada 20 November 1962 dalam usia 77 tahun Kiai dahlan berpulang. Pimpinan Pondok Kebon Ndalem diserahkan kepada Kiai Muhtar Faqih, menantu dan juga ponakan Kiai Dahlan. Tidak berselang lama, tepatnya pada kisaran tahun 1966 kiai Muhtar menyerahkan kepemimpinan Pondok Kebon Ndalem kepada Kiai Mujri Dahlan. Kiai Muhtar memilih untuk melanjutkan majelis ta’lim yang sebelumnya dipegang oleh Kiai Dahlan dan mendirikan pondok sendiri di belakang komplek Pondek Kebon Ndalem awal. Pondok Kebon Ndalem dipimpin Kiai Mujri Dahlan dengan dibantu oleh Kiai Hadi Dahlan, saudara Kiai Mujri beda ibu, hingga wafat beliau pada tahun1991.
Ada perbedaan mendasar dari orientasi perjuangan Pondok Kebon Ndalem dari generasi ke generasi. Dua pemangku awal pesantren ini, Kiai Ahyad dan Kiai Dahlan, lebih menitikberatkan pada pendalaman agama dan baca tulis arab. Sedang pada era Kiai Muhtar Faqih dan Kiai Mujri Dahlan lebih menekankan pada perimbangan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum lainnya. Perbedaan orientasi perjuangan ini lebih disebabkan oleh kondisi dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan.
Masa Kiai Ahyad dan Kiai Dahlan adalah masa penjajahan. Masa dimana masyarakat hidup dalam zaman kebodohan. Tidak semua lapisan masyarakat diperbolehkan mengenyam pendidikan formal. Hanya putra saudagar atau pembesar kerajaan yang bisa bersekolah. Pada titik ini, pesantren menempatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat awam yang kurang mampu yang tidak mendapat tempat untuk belajar di institusi pendidikan formal pada masa itu.
Sedang era kepemimpinan Kiai Muhtar dan Kiai Mujri adalah era dimana kran pendidikan telah dibuka dengan sangat lebar. Banyak sekolah berdiri dengan tanpa larangan bagi siapapun untuk memasukinya. Masyarakat berbondong-bondong untuk menyekolahkan anaknya dan mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi. Agar para santri tidak tertinggal, mereka tidak hanya dibekali pengetahuan agama tapi juga diberi kebebasan untuk menempuh pendidikan formal dan juga sebaliknya, mahasiswa yang berkeinginan untuk belajar agama difasilitasi oleh beliau.
Pasca wafatnya Kiai Mujri, Pondok Kebon Ndalem bertransformasi menjadi Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Tidak adanya figur yang mumpuni yang masih bertempat di Kebon Dalem menjadi alasan utama transformasi ini. TPA yang kini diasuh oleh Ibu Hj. Hani’ah putri Kiai Mujri Dahlan ini dimulai selepas Sholat Maghrib berjama’ah hingga Sholat Isya’ mulai Sabtu hingga Kamis. Untuk Hari Sabtu, anak-anak diajari membaca istighosah bersama-sama dan pada Hari Ahad anak-anak membaca Maulidud Diba’. Dalam hal praktek sholat dan ibadah lainnya difokuskan pada Hari Senin. Dalam memimpin TPA ini, Ibu Hani’ah dibantu oleh putra beliau yang bernama A. Zawawi.





II.    PP Al-Ulumus Salafiyah
Selepas Kiai Muhtar menyerahkan kepemimpinan Pondok Kebon Ndalem kepada saudara ipar beliau Kiai Mujri Dahlan, beliau mulai fokus melanjutkan majelis ta’lim yang sebelumnya dipegang oleh Kiai Dahlan. Kiai Muhtar adalah putra dari Kiai Faqih Maskumambang. Ibu beliau Khodijah adalah kakak dari Kiai Dahlan. Dari runtutan silsilah ini, kiai Muhtar adalah ponakan Kiai Dahlan yang kemudian diangkat menantu oleh beliau. Kiai Muhtar belajar agama hanya dari ayahnya sendiri.
Sesudah bangunan Al-Ulumus Salafiyah berdiri, majelis ta’lim yang sebelumnya bertempat di Pondok Kebon Ndalem dipindah kesana. Ketika majelis ta’lim ini diasuh oleh Kiai Muhtar, ada beberapa kiai Bangkalan santri Kiai Kholil Bangkalan yang juga mengikuti pengajian Kiai Dahlan pasca Kiai Dahlan wafat juga tetap mengikuti pengajian. Bangunan fisik pesantren Al-Ulumus Salafiyah sendiri mulai dibangun pada tahun 1974 dan diresmikan pada tahun 1976.
Majelis ta’lim ini dimulai selepas subuh hingga sekitar pukul 8. Selepas pengajian, beliau berdinas bekerja sebagai Ketua Pengadilan Agama Surabaya. Pada malam harinya Kiai Muhtar memenuhi undangan masyarakat mengaji keliling bergiliran di rumah warga.
Awal mula pendirian pesantren ini adalah untuk masyarakat umum. Namun pada perkembangannya, Kiai Muhtar mulai berpikir bahwa pesantren itu semestinya berkembang lebih modern. Beliau berpandangan bahwa santri bukan hanya harus mengaji tentang agama, tapi santri juga harus menguasai ilmu lain yang diajarkan oleh institusi formal sebagai penunjang kehidupan dunianya agar tidak tertinggal. Mahasiswa juga harus belajar agama, sehingga mahasiswa tidak hanya fokus pada ilmu perkuliahan mereka.
Karena itulah ketika bangunan Al-Ulumus Salafiyah telah berdiri, beliau banyak sekali menerima santri mahasiswa. Utamanya mahasiswa kampus IKIP Pecindilan yang berasal dari luar kota. Dalam membangun pesantren ini, Kiai Muhtar dibantu oleh Kiai Zaky Ghufron. Kiai Zaky Ghufron berpandangan bahwa pesantren Al-Ulumus Salafiyah, selain apa yang dicita-citakan oleh Kiai Muhtar, akan menjadi sebuah perpustakaan tempat pusat literature keagamaan. Meskipun pada akhirnya keinginan kiai Zaky Ghufron tidak terealisasi dikarenakan Kiai Muhtar lebih dulu berpulang pada tahun 1979.
Selepas Kiai Muhtar wafat, para kiai yang aktif di struktural NU Surabaya berinisiatif melanjutkan majelis ta’lim ini secara bergiliran. Hal ini tidaklah mengherankan karena Kiai Muhtar selain sebagai ketua Pengadilan Agama Surabaya juga menjabat sebagai Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur sejak 1965 hingga beliau meninggal. Diantara para kiai yang meneruskan majelis ta’lim ini adalah Kiai Tohir Syamsuddin, Kiai Hamid Siradj, Kiai khamim, Kiai Abdul Hafid, Kiai Bisyri Al-‘Ali Mojokerto, dan Kiai Miftahul Akhyar hingga pada sekitar akhir 1980an.

Meski kedua pesantren ini kini seakan berhenti, namun perlu dipahami bahwa kiai-kiai Kebon Ndalem memiliki santri yang kemudian mendirikan pesantren dan meneruskan perjuangan beliau mendidik masyarakat. Masih banyak yang bisa diharapkan dari santri kiai Kebon Ndalem yang mendirikan pesantren untuk memiliki santri-santri yang dikemudian hari akan menjadi kiai layaknya pendahulu mereka. Anak-cucu Kiai Ahyad sendiri adalah aktivis-aktivis yang memiliki track record panjang berkiprah untuk NU khususnya dan masyarakat pada umumnya. Pada titik ini kita bisa memahami bahwa jariyah ilmu beliau Kiai Ahyad, Kiai Dahlan, Kiai Muhtar, Kiai Mujri Dahlan dan Kiai Hadi Dahlan tidak berhenti dan lalu terputus meski kini pesantren beliau seakan diam.







0 komentar:

Posting Komentar

Buku "Who Am I? How I Am"

Judul Buku      : Who Am I? How I Am Penulis            : Mochammad Fuad Nadjib ISBN                 : (masih dalam proses) Sinopsis        ...