Pondok Pesantren
(PP) Kebon Ndalem
I.
PP
KH. M. Ahyad
Pesantren yang terletak
di ujung kampung Kebon Ndalem, tepatnya di jalan Pegirian dan masih dalam
lingkup kawasan realigi Sunan Ampel ini lebih dikenal dengan sebutan pondok Kebon
Ndalem. Pesantren ini didirikan oleh Kiai Haji Muhammad Ahyad, seorang ulama
pedagang dari Jawa Tengah. Tiada dikenal nama PP KH. M. Ahyad sebelumnya. Nama
ini baru mulai diperkenalkan setelah lewat masa dua generasi pesantren berdiri.
Konon pesantren ini berdiri
di atas tanah milik keluarga Mbah Sentono atau juga dikenal sebagai Kiai Ageng
Brondong, leluhur para bangsawan penguasa Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan. Pada
masa itu dibolehkan bagi siapapun untuk menempati tanah tersebut dengan syarat
bersedia merawat makam Mbah Sentono beserta keluarga yang terletak di Boto
Putih, sekitar 500 meter dari Pondok Kebon Ndalem.
Tidak diketahui secara
pasti kapan Kiai Ahyad menginjakkan kaki di Surabaya dan lalu mendirikan
pesantren di Kebon Ndalem. Namun dari keterangan yang dapat dipegang, semasa Kiai
Ahmad Dahlan Ahyad - putra keempat Kiai Ahyad dan pemangku pesantren sesudah
beliau - masih kecil Pondok Kebon Ndalem telah berdiri. Kiai Dahlan sendiri
dilahirkan pada 23 November 1885.
Dalam mengembangkan
pesantrennya Kiai Ahyad dibantu oleh Haji Abdul Kahar, saudagar kaya di daerah
Pasar Besar. Beliau adalah penyokong utama awal berdirinya pesantren ini dan
juga merupakan kakak dari Mardliyah, istri pertama Kiai Ahyad.
Pasca Kiai Ahyad wafat,
Pondok Kebon Ndalem di asuh oleh Kiai Ahmad Dahlan Ahyad. Nama ini sering
sekali disalah-tafsirkan sebagai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Selain
karena kesamaan nama dan rentang masa, kedua kiai ini juga telah menuliskan
namanya dalam tinta emas pergerakan bangsa. Kiai Ahmad Dahlan Yogyakarta dengan
Muhammadiyah-nya, dan kiai Ahmad Dahlan Surabaya dengan Taswirul Afkar juga
MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia).
Seperti yang tertulis
pada Pendaftaran Orang Indonesia jang Terkemoeka jang Ada di Djawa, arsip data
orang terkemuka milik Belanda, Kiai Ahyad pertama kali belajar agama melalui
ayahnya sendiri, kiai Ahyad. Setelah itu beliau nyantri pada Kiai Kholil Bangkalan untuk belajar Nahwu, Shorof, dan
Fiqih. Selepas dari Bangkalan beliau mondok
di Pesantren Sidogiri Pasuruan pada masa kepemimpinan kiai Mas Bachar.
Ketika Kiai Dahlan, Kiai
Wahab Hasbullah, dan beberapa ulama lainnya yang mempertahankan sistem
bermadzhab memutuskan untuk mendirikan madrasah Taswirul Afkar, kiai Dahlan
dipercaya sebagai direkturnya. Pada periode awal kepengurusan Nahdlatul Ulama
(NU), beliau ditunjuk sebagai Wakil dari Rais Akbar Kiai Hasyim Asy’ari. Namun
dikarenakan Kiai Dahlan lebih berat ngramut
Taswirul Afkar dan pondok Kebon Ndalem, beliau memutuskan untuk berhenti
berkiprah dalam struktural NU. Pada masa beliaulah Pondok Kebon Ndalem dikenal
luas dan mencapai masa puncaknya. Banyak peran bersejarah yang diambil
pesantren ini di masa pra-kemerdekaan. Utamanya dalam pendirian Taswirul Afkar
dan MIAI.
Pondok Kebon Ndalem
pada masa itu juga memiliki santri-santri yang di kemudian hari menjadi ulama
yang dikenal luas. Ada 3 santri legendaris dari kiai Dahlan; Kiai Abdul Adhim
Rungkut, kiai Abdul Ghoni Rangkah, ayah dari kiai Miftahul Akhyar rais syuriyah
PWNU Jawa Timur saat ini, dan kiai Hasan Asykari, atau lebih dikenal sebagai
Mbah Mangli. Seorang ulama karismatik, sederhana dan penuh karomah. Pada masa
beliau nyantri di Kebon Ndalem, Kiai Mangli
bertugas untuk mengisi bak mandi Kiai Dahlan. Beliau juga ikut membantu merawat
putra-putri Kiai Dahlan.
Pada 20 November 1962
dalam usia 77 tahun Kiai dahlan berpulang. Pimpinan Pondok Kebon Ndalem
diserahkan kepada Kiai Muhtar Faqih, menantu dan juga ponakan Kiai Dahlan.
Tidak berselang lama, tepatnya pada kisaran tahun 1966 kiai Muhtar menyerahkan
kepemimpinan Pondok Kebon Ndalem kepada Kiai Mujri Dahlan. Kiai Muhtar memilih
untuk melanjutkan majelis ta’lim yang sebelumnya dipegang oleh Kiai Dahlan
dan mendirikan pondok sendiri di belakang komplek Pondek Kebon Ndalem awal. Pondok
Kebon Ndalem dipimpin Kiai Mujri Dahlan dengan dibantu oleh Kiai Hadi Dahlan,
saudara Kiai Mujri beda ibu, hingga wafat beliau pada tahun1991.
Ada perbedaan mendasar
dari orientasi perjuangan Pondok Kebon Ndalem dari generasi ke generasi. Dua
pemangku awal pesantren ini, Kiai Ahyad dan Kiai Dahlan, lebih menitikberatkan
pada pendalaman agama dan baca tulis arab. Sedang pada era Kiai Muhtar Faqih
dan Kiai Mujri Dahlan lebih menekankan pada perimbangan antara pengetahuan
agama dan pengetahuan umum lainnya. Perbedaan orientasi perjuangan ini lebih
disebabkan oleh kondisi dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan.
Masa Kiai Ahyad dan Kiai
Dahlan adalah masa penjajahan. Masa dimana masyarakat hidup dalam zaman
kebodohan. Tidak semua lapisan masyarakat diperbolehkan mengenyam pendidikan
formal. Hanya putra saudagar atau pembesar kerajaan yang bisa bersekolah. Pada titik
ini, pesantren menempatkan dirinya sebagai lembaga pendidikan alternatif bagi
masyarakat awam yang kurang mampu yang tidak mendapat tempat untuk belajar di
institusi pendidikan formal pada masa itu.
Sedang era kepemimpinan
Kiai Muhtar dan Kiai Mujri adalah era dimana kran pendidikan telah dibuka
dengan sangat lebar. Banyak sekolah berdiri dengan tanpa larangan bagi siapapun
untuk memasukinya. Masyarakat berbondong-bondong untuk menyekolahkan anaknya
dan mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi. Agar para santri tidak
tertinggal, mereka tidak hanya dibekali pengetahuan agama tapi juga diberi
kebebasan untuk menempuh pendidikan formal dan juga sebaliknya, mahasiswa yang
berkeinginan untuk belajar agama difasilitasi oleh beliau.
Pasca wafatnya Kiai Mujri,
Pondok Kebon Ndalem bertransformasi menjadi Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).
Tidak adanya figur yang mumpuni yang masih bertempat di Kebon Dalem menjadi
alasan utama transformasi ini. TPA yang kini diasuh oleh Ibu Hj. Hani’ah putri Kiai
Mujri Dahlan ini dimulai selepas Sholat Maghrib berjama’ah hingga Sholat Isya’ mulai
Sabtu hingga Kamis. Untuk Hari Sabtu, anak-anak diajari membaca istighosah bersama-sama
dan pada Hari Ahad anak-anak membaca Maulidud Diba’. Dalam hal praktek sholat
dan ibadah lainnya difokuskan pada Hari Senin. Dalam memimpin TPA ini, Ibu Hani’ah
dibantu oleh putra beliau yang bernama A. Zawawi.
II.
PP
Al-Ulumus Salafiyah
Selepas Kiai Muhtar
menyerahkan kepemimpinan Pondok Kebon Ndalem kepada saudara ipar beliau Kiai Mujri
Dahlan, beliau mulai fokus melanjutkan majelis ta’lim yang sebelumnya
dipegang oleh Kiai Dahlan. Kiai Muhtar adalah putra dari Kiai Faqih
Maskumambang. Ibu beliau Khodijah adalah kakak dari Kiai Dahlan. Dari runtutan
silsilah ini, kiai Muhtar adalah ponakan Kiai Dahlan yang kemudian diangkat
menantu oleh beliau. Kiai Muhtar belajar agama hanya dari ayahnya sendiri.
Sesudah bangunan
Al-Ulumus Salafiyah berdiri, majelis ta’lim yang sebelumnya bertempat di
Pondok Kebon Ndalem dipindah kesana. Ketika majelis ta’lim ini diasuh
oleh Kiai Muhtar, ada beberapa kiai Bangkalan santri Kiai Kholil Bangkalan yang
juga mengikuti pengajian Kiai Dahlan pasca Kiai Dahlan wafat juga tetap mengikuti
pengajian. Bangunan fisik pesantren Al-Ulumus Salafiyah sendiri mulai dibangun
pada tahun 1974 dan diresmikan pada tahun 1976.
Majelis ta’lim
ini dimulai selepas subuh hingga sekitar pukul 8. Selepas pengajian, beliau
berdinas bekerja sebagai Ketua Pengadilan Agama Surabaya. Pada malam harinya Kiai
Muhtar memenuhi undangan masyarakat mengaji keliling bergiliran di rumah warga.
Awal mula pendirian
pesantren ini adalah untuk masyarakat umum. Namun pada perkembangannya, Kiai Muhtar
mulai berpikir bahwa pesantren itu semestinya berkembang lebih modern. Beliau
berpandangan bahwa santri bukan hanya harus mengaji tentang agama, tapi santri
juga harus menguasai ilmu lain yang diajarkan oleh institusi formal sebagai
penunjang kehidupan dunianya agar tidak tertinggal. Mahasiswa juga harus
belajar agama, sehingga mahasiswa tidak hanya fokus pada ilmu perkuliahan
mereka.
Karena itulah ketika
bangunan Al-Ulumus Salafiyah telah berdiri, beliau banyak sekali menerima
santri mahasiswa. Utamanya mahasiswa kampus IKIP Pecindilan yang berasal dari
luar kota. Dalam membangun pesantren ini, Kiai Muhtar dibantu oleh Kiai Zaky
Ghufron. Kiai Zaky Ghufron berpandangan bahwa pesantren Al-Ulumus Salafiyah,
selain apa yang dicita-citakan oleh Kiai Muhtar, akan menjadi sebuah
perpustakaan tempat pusat literature keagamaan. Meskipun pada akhirnya keinginan
kiai Zaky Ghufron tidak terealisasi dikarenakan Kiai Muhtar lebih dulu
berpulang pada tahun 1979.
Selepas Kiai Muhtar
wafat, para kiai yang aktif di struktural NU Surabaya berinisiatif melanjutkan
majelis ta’lim ini secara bergiliran. Hal ini tidaklah mengherankan
karena Kiai Muhtar selain sebagai ketua Pengadilan Agama Surabaya juga menjabat
sebagai Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur sejak 1965 hingga beliau meninggal. Diantara
para kiai yang meneruskan majelis ta’lim ini adalah Kiai Tohir
Syamsuddin, Kiai Hamid Siradj, Kiai khamim, Kiai Abdul Hafid, Kiai Bisyri
Al-‘Ali Mojokerto, dan Kiai Miftahul Akhyar hingga pada sekitar akhir 1980an.
Meski kedua pesantren
ini kini seakan berhenti, namun perlu dipahami bahwa kiai-kiai Kebon Ndalem
memiliki santri yang kemudian mendirikan pesantren dan meneruskan perjuangan
beliau mendidik masyarakat. Masih banyak yang bisa diharapkan dari santri kiai
Kebon Ndalem yang mendirikan pesantren untuk memiliki santri-santri yang
dikemudian hari akan menjadi kiai layaknya pendahulu mereka. Anak-cucu Kiai Ahyad
sendiri adalah aktivis-aktivis yang memiliki track record panjang berkiprah untuk NU khususnya dan masyarakat
pada umumnya. Pada titik ini kita bisa memahami bahwa jariyah ilmu beliau Kiai Ahyad, Kiai Dahlan, Kiai Muhtar, Kiai Mujri
Dahlan dan Kiai Hadi Dahlan tidak berhenti dan lalu terputus meski kini pesantren
beliau seakan diam.
0 komentar:
Posting Komentar