Jumat, 22 Desember 2017

Tafsir Falsafi Tugas S2 IAI al-Khozini

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang masalah
Al-Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup ummat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala ha yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keisaman. Pemahaman melalui ayat-ayat al-Qur’an melalaui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban Islam. Di dalam menafsirkan al-Qur’an terdapat beberapa metode yang digunakan sehingga membawa hasil yang pandang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga timbullah berbagai macam penafsiran seperti tafsir bil ma’\ur dan bil ra’yi, sufi, ilmi, fiqhi falsafi dan yang lainnya.
Penfsiran al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa uama salaf maupun khalaf bahkan sampai dewasa ini. Pada tahapan-tahapan perkembangannya, muncullah karakteristik  yang berbeda-beda dalam metode maupun coraknya.[1] Ada dalam bentuk sufi, fiqhi, adabi wa ijtima’I, falsafi dan yang lainnya. Dan adapun pada makalah ini akan dibahas tentang tafsir falsafi.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa penegertian Tafsir Falsafi?
2.      Latar belakang kemunculan Tafsir Falsafi?
3.      Bagaimana respon Ulama terhadap Tafsir Falsafi?
4.      Siapa saja tokoh-tokoh Tafsir Falsafi?

C.        Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Tafsir Falsafi
2.      Untuk mengetahui latar belakang kemunculan Tafsir Falsafi
3.      Untuk mengetahui respon Ulama terhadap Tafsir Falsafi
4.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh Tafsir Falsafi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Tafsir Falsafi.
Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab  adalah upaya penafsiran al-Qur’an yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.[2] Ada juga yang mendefinisikan Tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat. Semua al-Qur’an memiliki nilai filosofis tapi tidak semuanya bisa diatfsirkan dengan menggunakan metode filsafat. Hanya ayat-ayat tertentu saja yang pas dengan metode ini, yaitu yang kajiannya mengarah kepada rana filsafat.

B.        Latar belakang kemunculan Tafsir Falsafi
Awal mula kemunculan Tafsir Falsafi ini jika dirunut ke belakang sampai pada masa sahabat, bisa dikatakan bahwa bibit kemunculannya dimulai oleh ‘Abdullah bin Mas’ud yang dikenal dengan keluwesan kecerdasannya terutama dalam hal ijtihad (ra’y). Dan hal lain yang bisa menguatkan hal tersebut adalah bahwa ia tinggal/ditugaskan di Irak yang penduduknya memiliki olah piker yang sangat luar biasa. Pertimbangan selanjutnya diketahui bahwa corak tafsir ini tampak jelas pada masa Bani Abbasiah yang notabenenya juga berpuat di Irak (tempat Ibn Mas’ud bertugas untuk mengajarkan agama Islam).
Pada saat kejayaan Islam terutama pada masa pemerintahan Bani Abbasiah, pemerintah mensupport para pemikir untuk melakukan penerjemahan bersar-besaran terhadap buku-buku yang bukan bersal dari Islam terutama buku-buku filsafat Yunani dan Persia ke dalam bahsa Arab. Walhasil beredarlah buku-buku baru yang menjadi bahan bacaan umat Islam pada waktu itu.
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang berkembang pesat di kalangan umat Islam pada saat itu memberi inspirasi para ilmuan dan mufasir muslim seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd dan al Farabi  unutk menginterpretasikan al-Qur’an dengan menggunakan metode filsafat..
C.        Respon Ulama Terhadap Tafsir Falsafi
Ada dua macam pendapat ulama daam menyikapi interfensi filsafat Yunani dalam proses penafsiran al-Qur’an.
1.      Ulama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari karya para filosof tersebut. Menurut mereka di dalam filsafat tersebut ada banyak hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. bahakan al-Gazali dalam kitabnya “tahafut alfalasifah” menyebut mereka dengan istilah kaum bid’ah. Menurutnya mereka membangga-banggakan diri dengan anggapan bahwa mereka akan terhormat jika mereka tidak menerima kebenaran secara taqlid, meskipun sebaliknya mereka justru menerima kebobongan tanpa kritik. [3] Al-Gazali sebenarnya tidak melarang menggunakan pendekatan filosofis. Yang ia tidak sukai dan kritik ialah pendekatan model metafisika spekulatif Ibn Sina dan para filosuf lain yang sama. Namun ia tidak melarang untuk belajar logika, tabi’iyat, matematika dan yang lainnya.[4]
2.      Ulama yang menerima dan sangat kagum terhadap filsafat. Mereka selalu membenarkan teori filsafat dan berpendapat bahwa seluru isi al-Qur’an  dapat diinterpretasikan denga pendekatan filosofis. Salah satu tokohnya adalah Ibn Rusyd, dia menulis pembelaannya terhadap filsafat dalam “Tahafut al Tahafut” sebagai sanggahan terhadap “Tahafut al Falasifah”.[5]
3.      Menurut Zahabi, tidak seorang pun dari filosof-filosof Islam yang menerima pemikiran Yunani tersebut yang menulis tafsir secara utuh, dalam artian merka hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan teori filsafat yang tertuang dalam karya filsafat mereka. [6]
.
D.       Tokoh-tokoh tafsir filsafat dan Tafsirnya
1.      Ibn Sina
Metode Ibn Siina dalam menafsirkan al-Qur’an  adalah dengan memandang al-Qur’an dan filsafat, kemudian menafsirkan al-Qur’an secara filsafat murni. Misalnya dia jeaskan kebenaran-kebenaran agama ditinjau dari tinjauan filsafat. Karena menurutnya al-Qur’an itu sebagai symbol yang sulit dipahami oleh orang-orang awam dan hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu.
Salah satu ayat yang ditafsirkan oleh Ibn Sina adalah surah al-Haqqah ayat 17:
ويحمل عرش ربك يومئذ ثمانية
            Terjemahnya:
“.. dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung arsy Tuhanmu di atas kepala mereka” .[7]
Menurut Ibn Sina, Arsy adalah planet ke-9 yang merupakan pusat planet-planet lain, sedangkan delapan malaikat adalah delapan planet penyangga yang berada di bawahnya. Ia menyatakan bahwa Arsy itu merupakan akhir wujud ciptaan jasmani. Kalangan antromorfosis yang menganut faham syari’at berpendapat bahwa Allah berada di atas Arsy tetapi bukan berarti ia berdiam di sana (hulul) sebagaimana juga pada filosof beranggapan bahwa akhir ciptaan yang bersifat jasmani adalah planet ke-9 tersebut, dan Tuhan berada di sana tapi bukan dalam artian berdiam. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa planet itu bergerak dengan jiwa. Gerak tersebut bersifat esensial dan tidak, gerak esensial dapat bersifat alamiah dan nafsiyah. Kemudian mereka jelaskan bahwa planet-planet tersebut tidak akan binasa dan tidak akan berubah sepanjang masa. Dalam syariat disebutkan bahwa malaikay itu hidup, tidak mati seperti layaknya manusia, maka jika dikatakan bahwa panet-planet itu mahluk hidup yang dapat berpikir dan mahluk hidup yang dapat berfikir disebut malaikat, maka panet-planet tersebut dinamakan malaikat.[8]
2.          Al Faraby
Metode Tafsir yang digunakan oleh al-Faraby sama dengan Ibn Sina, yaitu sama-sama menilai al-Qur’an dengan filsafat. Dalam kitabnya “Fushus al-Hikam” ia menafsirkan surah al-Hadid ayat 3 dengan pendekatan filosofis:
هو الاول والاخر
Terjemahnya:
“… dialah yang dan yang akhir……”[9]
Dia menafsirkan ayat tersebut berdasarkan filsafat Plato tentang kekadiman alam, ia menyatakan bahwa wujud pertama ada dengan sendirinya. Setiap wujud yang lain berasa dari wujud yang pertama. Alam itu awal (qadim) karena kejadiannya paling dekat dengan wujud pertama. Sedangkan tafsir ia merupakan wujud yang terakhir ialah segala sesuatu yang diteliti, sebab-sebabnya akan berakhir pada-Nya. Dialah wujud terakhir karena Dia tujuan akhir yang hakiki dalam setiap proses. Dialah kerinduan utama karena itu Dia akhir dari segala tujuan.[10]
3.          Ibn Rusd
Penafsiran Ibn Rusyd ini lebih cenderung pada perpaduan pemikiran filosof dan teori-teori yang ada dalam nas-nas al-Qur’an. Dimana Ibn Rusyd mempertimbangkan dengan matang agar tidak terjebak dalam pemikiran filosof radikal yang mampu menjerumuskan alam pikiran kepada jalan yang menyesatkan.
Contoh tafsir Ibn Rusyd pada surah Hud ayat 7:
وهو الذي خلق السموات و الارض في ستة أيام وكان عرشه علي الماء ليبوكم ايكم احسن عملا
Terjemahnya:
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan tahtanya berada di atas air, agar Ia uji siapa diantara kamu yang paling baik amalnya. [11]
Menurutnya alam bukanlah diajadikan dari tiada tetapi dari sesuatu yang memang sudah ada. Sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud yang lain yaitu air yang diatasnya terdapat tahata kekuasaaan Tuhan. Sedangkan dalah al-Anbiya ayat 30 dan Ibrahim ayat 47-48 disebutkab bahwa bumi dan langit pada umumnya berasal dari unsure yang sama, kemudian dipecah dari benda yang beraianan. Dengan demikian sebelum bumi dan langit telah ada benda lain yang dalam sebagian ayat diberi nama air, dan dalam ayat yang lain disebut uap. Uap dan air berdekatan selanjutnya langit dan bumi dijadikan dari uap atau air bukan dijadikan dari unsure yang tiada, dalam arti unsurnya bersifat kekal dari zaman yang qadim.[12]
4.      Thabatha’i
Salah satu Ayat al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Thabathaba’I dengan menggunakan metode filosofis ialah al- Baqarah ayat 167 yang berbunyi:
وما هم بخارجين من النار
Terjemahnya:
Dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. [13]
Menurutnya siksaan di neraka tidak akan kekal, karena Tuhan Maha Pengasih dan sangat luas, sehingga bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Pengasih akan menyiksa hambanya selamnaya. Alas an lainnya yang dikemukakan bahwa  balasa dendam terhaap perbuatan oaring yang aniaya hanyaah pekerjaan yang sia-sia. Sedang Tuhan tidak pernah berbuat dalim terhadap hambanya serta balas dendam, maka siksaan di neraka akan putus atau tidak kekal





BAB III
KESIMPULAN

A.       Analisis dan kritik
Sejarah teah mencatat perkembangan tafsir begitu pesat, seiring dengan kebutuhan dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan  ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir memiliki sisi negatif dan positif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika  dan karena peranan logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historititas kitab suci. Namun begitu, ada positifnya yaitu kemampuan membangun abtraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat tanpa hambatan budaya dan bahasa.[14]
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi yang ideal. Sebuah tafsir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur’an tidak bisa lepas dari struktur historis dan konteks sosio-kultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tafsir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan dilebih-lebihkan. Dan harapan itu tidak berlebihan karena di samping memang kita belum menemukan tafsir yang secara utuh mengunakan pendekatan filosofis, kalau pun ada itu hanya terbatas pada beberapa ayat yang ditemukan pada buku-buku karangan mereka.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Aridl, Ali Hasan , Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994)
 Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof), diterjemahkan Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986)
Al-Gazali, al-Munqid min al-Dalal, (Qahirah: Maktabah al-Islamiyah, 1303 H)
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama, (Semarang: Toha Putera, 1989)
Al Zahabi, Muhammad Husain , at-Tafsir wa al-Mufassirun (Mesir: Dar al-Kuttab, 1976)
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Heuremetik,  (Jakarta: Paramadina, 1996)
Nasution, Harun , Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th)
Shihab dkk, Quraisy,  Sejarah dan Ulum al Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)




[1] Ali Hasan al-Aridl, sejarah metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994)., h. 7.
[2] Quraisy Shihab dkk, Sejarah dan ulum al Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)., h. 182.
[3] Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof), diterjemahkan Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986)., h.13
[4] Al-Gazali, al-Munqid min al-Dalal, (Qahirah: Maktabah al-Islamiyah, 1303 H)., h. 13.
[5] Muhammad Husain Al Zahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun (Mesir: Dar al-Kuttab, 1976)., h. 419.
[6] Ibid h. 421
[7] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 1989)., h. 567
[8] Al Zahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, h. 426-427.
[9] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 1989)., h. 537
[10] Al Zahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, h. 320.
[11] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 1989)., 222
[12] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th)., h. 50.
[13] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 1989)., 25
[14] Komaruddin Hidayat , Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian heuremetik,  (Jakarta: Paramadina, 1996)., h. 215.

Buku "Who Am I? How I Am"

Judul Buku      : Who Am I? How I Am Penulis            : Mochammad Fuad Nadjib ISBN                 : (masih dalam proses) Sinopsis        ...