BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
masalah
Al-Qur’an
adalah sumber ajaran dan pedoman hidup ummat Islam yang pertama, kitab suci ini
menempati posisi sentral dalam segala ha yaitu dalam pengembangan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan keisaman. Pemahaman melalui ayat-ayat
al-Qur’an melalaui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju
mundurnya peradaban Islam. Di dalam menafsirkan al-Qur’an terdapat beberapa
metode yang digunakan sehingga membawa hasil yang pandang berbeda-beda pula,
sesuai dengan sudut dan latar belakang penafsir masing-masing. Sehingga
timbullah berbagai macam penafsiran seperti tafsir bil ma’\ur dan bil ra’yi,
sufi, ilmi, fiqhi falsafi dan yang lainnya.
Penfsiran
al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. sejalan dengan
kebutuhan umat Islam untuk mengetahui kandungan al-Qur’an serta intensitas
perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir al-Qur’an pun terus
berkembang, baik pada masa uama salaf maupun khalaf bahkan sampai dewasa ini.
Pada tahapan-tahapan perkembangannya, muncullah karakteristik yang berbeda-beda dalam metode maupun
coraknya.[1] Ada
dalam bentuk sufi, fiqhi, adabi wa ijtima’I, falsafi dan yang lainnya. Dan
adapun pada makalah ini akan dibahas tentang tafsir falsafi.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa penegertian Tafsir Falsafi?
2. Latar belakang
kemunculan Tafsir Falsafi?
3.
Bagaimana
respon Ulama terhadap Tafsir Falsafi?
4.
Siapa saja tokoh-tokoh Tafsir Falsafi?
C.
Tujuan penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Tafsir Falsafi
2. Untuk
mengetahui latar
belakang kemunculan Tafsir Falsafi
3.
Untuk mengetahui
respon Ulama terhadap Tafsir Falsafi
4.
Untuk mengetahui tokoh-tokoh Tafsir Falsafi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tafsir Falsafi.
Tafsir falsafi menurut Quraisy
Shihab adalah upaya penafsiran al-Qur’an
yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.[2] Ada
juga yang mendefinisikan Tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an
dengan menggunakan teori-teori filsafat. Semua al-Qur’an memiliki nilai
filosofis tapi tidak semuanya bisa diatfsirkan dengan menggunakan metode
filsafat. Hanya ayat-ayat tertentu saja yang pas dengan metode ini, yaitu yang
kajiannya mengarah kepada rana filsafat.
B.
Latar belakang
kemunculan Tafsir Falsafi
Awal mula kemunculan Tafsir Falsafi ini
jika dirunut ke belakang sampai pada masa sahabat, bisa dikatakan bahwa bibit
kemunculannya dimulai oleh ‘Abdullah bin Mas’ud yang dikenal dengan keluwesan
kecerdasannya terutama dalam hal ijtihad (ra’y). Dan hal lain yang bisa
menguatkan hal tersebut adalah bahwa ia tinggal/ditugaskan di Irak yang
penduduknya memiliki olah piker yang sangat luar biasa. Pertimbangan
selanjutnya diketahui bahwa corak tafsir ini tampak jelas pada masa Bani
Abbasiah yang notabenenya juga berpuat di Irak (tempat Ibn Mas’ud bertugas
untuk mengajarkan agama Islam).
Pada saat kejayaan Islam terutama pada
masa pemerintahan Bani Abbasiah, pemerintah mensupport para pemikir untuk
melakukan penerjemahan bersar-besaran terhadap buku-buku yang bukan bersal dari
Islam terutama buku-buku filsafat Yunani dan Persia ke dalam bahsa Arab.
Walhasil beredarlah buku-buku baru yang menjadi bahan bacaan umat Islam pada
waktu itu.
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani
yang berkembang pesat di kalangan umat Islam pada saat itu memberi inspirasi
para ilmuan dan mufasir muslim seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd dan al Farabi unutk menginterpretasikan al-Qur’an dengan
menggunakan metode filsafat..
C.
Respon
Ulama Terhadap Tafsir Falsafi
Ada dua macam pendapat ulama daam
menyikapi interfensi filsafat Yunani dalam proses penafsiran al-Qur’an.
1.
Ulama
menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari karya para filosof tersebut. Menurut
mereka di dalam filsafat tersebut ada banyak hal yang tidak sesuai dengan
ajaran agama Islam. bahakan al-Gazali dalam kitabnya “tahafut alfalasifah”
menyebut mereka dengan istilah kaum bid’ah. Menurutnya mereka
membangga-banggakan diri dengan anggapan bahwa mereka akan terhormat jika
mereka tidak menerima kebenaran secara taqlid, meskipun sebaliknya mereka
justru menerima kebobongan tanpa kritik. [3]
Al-Gazali sebenarnya tidak melarang menggunakan pendekatan filosofis. Yang ia
tidak sukai dan kritik ialah pendekatan model metafisika spekulatif Ibn Sina
dan para filosuf lain yang sama. Namun ia tidak melarang untuk belajar logika,
tabi’iyat, matematika dan yang lainnya.[4]
2. Ulama
yang menerima dan sangat kagum terhadap filsafat. Mereka selalu membenarkan
teori filsafat dan berpendapat bahwa seluru isi al-Qur’an dapat diinterpretasikan denga pendekatan
filosofis. Salah satu tokohnya adalah Ibn Rusyd, dia menulis pembelaannya
terhadap filsafat dalam “Tahafut al Tahafut” sebagai sanggahan terhadap
“Tahafut al Falasifah”.[5]
3.
Menurut Zahabi, tidak seorang
pun dari filosof-filosof Islam yang menerima pemikiran Yunani tersebut yang
menulis tafsir secara utuh, dalam artian merka hanya menafsirkan ayat-ayat
tertentu dalam al-Qur’an yang berhubungan dengan teori filsafat yang tertuang
dalam karya filsafat mereka. [6]
.
D.
Tokoh-tokoh
tafsir filsafat dan Tafsirnya
1.
Ibn
Sina
Metode Ibn Siina dalam menafsirkan
al-Qur’an adalah dengan memandang
al-Qur’an dan filsafat, kemudian menafsirkan al-Qur’an secara filsafat murni.
Misalnya dia jeaskan kebenaran-kebenaran agama ditinjau dari tinjauan filsafat.
Karena menurutnya al-Qur’an itu sebagai symbol yang sulit dipahami oleh orang-orang
awam dan hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu.
Salah
satu ayat yang ditafsirkan oleh Ibn Sina adalah surah al-Haqqah ayat 17:
ويحمل عرش ربك يومئذ
ثمانية
Terjemahnya:
“..
dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung arsy Tuhanmu di atas kepala
mereka” .[7]
Menurut Ibn Sina, Arsy adalah planet
ke-9 yang merupakan pusat planet-planet lain, sedangkan delapan malaikat adalah
delapan planet penyangga yang berada di bawahnya. Ia menyatakan bahwa Arsy itu
merupakan akhir wujud ciptaan jasmani. Kalangan antromorfosis yang menganut
faham syari’at berpendapat bahwa Allah berada di atas Arsy tetapi bukan berarti
ia berdiam di sana (hulul) sebagaimana juga pada filosof beranggapan bahwa
akhir ciptaan yang bersifat jasmani adalah planet ke-9 tersebut, dan Tuhan
berada di sana tapi bukan dalam artian berdiam. Selanjutnya mereka menjelaskan
bahwa planet itu bergerak dengan jiwa. Gerak tersebut bersifat esensial dan
tidak, gerak esensial dapat bersifat alamiah dan nafsiyah. Kemudian mereka
jelaskan bahwa planet-planet tersebut tidak akan binasa dan tidak akan berubah
sepanjang masa. Dalam syariat disebutkan bahwa malaikay itu hidup, tidak mati
seperti layaknya manusia, maka jika dikatakan bahwa panet-planet itu mahluk
hidup yang dapat berpikir dan mahluk hidup yang dapat berfikir disebut
malaikat, maka panet-planet tersebut dinamakan malaikat.[8]
2.
Al
Faraby
Metode Tafsir yang digunakan oleh
al-Faraby sama dengan Ibn Sina, yaitu sama-sama menilai al-Qur’an dengan
filsafat. Dalam kitabnya “Fushus al-Hikam” ia menafsirkan surah al-Hadid ayat 3
dengan pendekatan filosofis:
هو
الاول والاخر
Terjemahnya:
“…
dialah yang dan yang akhir……”[9]
Dia menafsirkan ayat tersebut
berdasarkan filsafat Plato tentang kekadiman alam, ia menyatakan bahwa wujud
pertama ada dengan sendirinya. Setiap wujud yang lain berasa dari wujud yang
pertama. Alam itu awal (qadim) karena kejadiannya paling dekat dengan wujud
pertama. Sedangkan tafsir ia merupakan wujud yang terakhir ialah segala sesuatu
yang diteliti, sebab-sebabnya akan berakhir pada-Nya. Dialah wujud terakhir
karena Dia tujuan akhir yang hakiki dalam setiap proses. Dialah kerinduan utama
karena itu Dia akhir dari segala tujuan.[10]
3.
Ibn
Rusd
Penafsiran
Ibn Rusyd ini lebih cenderung pada perpaduan pemikiran filosof dan teori-teori
yang ada dalam nas-nas al-Qur’an. Dimana Ibn Rusyd mempertimbangkan dengan
matang agar tidak terjebak dalam pemikiran filosof radikal yang mampu
menjerumuskan alam pikiran kepada jalan yang menyesatkan.
Contoh
tafsir Ibn Rusyd pada surah Hud ayat 7:
وهو الذي خلق السموات
و الارض في ستة أيام وكان عرشه علي الماء ليبوكم ايكم احسن عملا
Terjemahnya:
“ Dan Dialah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan tahtanya berada di atas air,
agar Ia uji siapa diantara kamu yang paling baik amalnya. “[11]
Menurutnya
alam bukanlah diajadikan dari tiada tetapi dari sesuatu yang memang sudah ada.
Sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud yang lain yaitu air yang
diatasnya terdapat tahata kekuasaaan Tuhan. Sedangkan dalah al-Anbiya ayat 30
dan Ibrahim ayat 47-48 disebutkab bahwa bumi dan langit pada umumnya berasal
dari unsure yang sama, kemudian dipecah dari benda yang beraianan. Dengan
demikian sebelum bumi dan langit telah ada benda lain yang dalam sebagian ayat
diberi nama air, dan dalam ayat yang lain disebut uap. Uap dan air berdekatan
selanjutnya langit dan bumi dijadikan dari uap atau air bukan dijadikan dari
unsure yang tiada, dalam arti unsurnya bersifat kekal dari zaman yang qadim.[12]
4.
Thabatha’i
Salah satu Ayat
al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Thabathaba’I dengan menggunakan metode
filosofis ialah al- Baqarah ayat 167 yang berbunyi:
وما هم بخارجين من
النار
Terjemahnya:
Menurutnya
siksaan di neraka tidak akan kekal, karena Tuhan Maha Pengasih dan sangat luas,
sehingga bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Pengasih akan menyiksa hambanya
selamnaya. Alas an lainnya yang dikemukakan bahwa balasa dendam terhaap perbuatan oaring yang
aniaya hanyaah pekerjaan yang sia-sia. Sedang Tuhan tidak pernah berbuat dalim
terhadap hambanya serta balas dendam, maka siksaan di neraka akan putus atau
tidak kekal
BAB III
KESIMPULAN
A.
Analisis dan kritik
Sejarah
teah mencatat perkembangan tafsir begitu pesat, seiring dengan kebutuhan dan
kemampuan manusia dalam menginterpretasikan
ayat-ayat Tuhan. Setiap karya tafsir yang lahir memiliki sisi negatif
dan positif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi
universal hanya berdasarkan logika dan
karena peranan logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan
aspek historititas kitab suci. Namun begitu, ada positifnya yaitu kemampuan
membangun abtraksi dan proposisi makna-makna latent (tersembunyi) yang diangkat
dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat
tanpa hambatan budaya dan bahasa.[14]
Dari
pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan
nantinya terwujudnya tafsir falsafi yang ideal. Sebuah tafsir falsafi yang
kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika
tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya.
Sebab pada prinsipnya teks al-Qur’an tidak bisa lepas dari struktur historis
dan konteks sosio-kultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir
tafsir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan
dilebih-lebihkan. Dan harapan itu tidak berlebihan karena di samping memang
kita belum menemukan tafsir yang secara utuh mengunakan pendekatan filosofis,
kalau pun ada itu hanya terbatas pada beberapa ayat yang ditemukan pada
buku-buku karangan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl,
Ali Hasan , Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 1994)
Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah (kerancuan
para filosof), diterjemahkan Ahmadie Thaha (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986)
Al-Gazali,
al-Munqid min al-Dalal, (Qahirah: Maktabah al-Islamiyah, 1303 H)
Al-Qur'an dan Terjemahannya, Departemen Agama, (Semarang: Toha
Putera, 1989)
Al
Zahabi, Muhammad Husain , at-Tafsir wa al-Mufassirun (Mesir: Dar
al-Kuttab, 1976)
Hidayat, Komaruddin,
Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Heuremetik, (Jakarta: Paramadina, 1996)
Nasution, Harun , Filsafat
dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th)
Shihab dkk,
Quraisy, Sejarah dan Ulum al Qur’an (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1999)
[1] Ali Hasan
al-Aridl, sejarah metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,
1994)., h. 7.
[2] Quraisy Shihab
dkk, Sejarah dan ulum al Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999)., h.
182.
[3] Al-Gazali, Tahafut
al-Falasifah (kerancuan para filosof), diterjemahkan Ahmadie Thaha (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1986)., h.13
[4] Al-Gazali, al-Munqid
min al-Dalal, (Qahirah: Maktabah al-Islamiyah, 1303 H)., h. 13.
[10] Al Zahabi, Tafsir
wa al-Mufassirun, h. 320.
[12] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
t.th)., h. 50.
[14] Komaruddin
Hidayat , Memahami Bahasa Agama, sebuah kajian heuremetik, (Jakarta: Paramadina, 1996)., h. 215.