KEPALA SAMA BERBULU, PENDAPAT LAIN-LAIN
KH. Abdurrahman Wahid
Pepatah di atas sudah sangat terkenal dalam bahasa kita,karena demikian banyak ia dilakukan dalam praktek kehidupan. Maksudnya adalah, kita sama-sama mempunyai rambut, tetapi pemikiran tetap berbeda. Jadi dalam ajaran Islam, satu ke lain orangpun terdapat pluralitas/kemajemukan pendapat, ini diterima sebagai prinsip pengaturan hidup bermasyarakat: "Perbedaan para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a‘immah rahmat al-ummah).” Prinsip ini sangat dipegang teguh dalam kehidupan kaum muslimin, sehingga perbedaan pandangan dilihat sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Kaum muslimin hanya dapat dipersatukan dalam masalah-masalah dasar belaka, seperti keharusan adanya keadilan dan sebagainya.
KH. Abdurrahman Wahid
Pepatah di atas sudah sangat terkenal dalam bahasa kita,karena demikian banyak ia dilakukan dalam praktek kehidupan. Maksudnya adalah, kita sama-sama mempunyai rambut, tetapi pemikiran tetap berbeda. Jadi dalam ajaran Islam, satu ke lain orangpun terdapat pluralitas/kemajemukan pendapat, ini diterima sebagai prinsip pengaturan hidup bermasyarakat: "Perbedaan para pemimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a‘immah rahmat al-ummah).” Prinsip ini sangat dipegang teguh dalam kehidupan kaum muslimin, sehingga perbedaan pandangan dilihat sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Kaum muslimin hanya dapat dipersatukan dalam masalah-masalah dasar belaka, seperti keharusan adanya keadilan dan sebagainya.
Keluarga penulis sendiri merupakan contoh yang tepat akan pluralitas
pandangan. Penulis sendiri menjadi Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB, adik
penulis menjadi ketua umum organisasi kaum ibu Al-Hidayah (yang oleh
sementara orang dianggap mendukung Partai Golkar), dan adik penulis
mengikuti sebuah partai politik sempalan (serta sekarang menjadi Wakil
Ketua Tanfidziyah PBNU). Tiga orang yang lain tidak mau memasuki parpol
ataupun organisasi non-profesional. Ada semacam kesepakatan antara
penulis dan adik-adiknya, kami berenam tidak akan membicarakan aspirasi,
partai politik atau organisasi apapun. Dengan demikian terhindarlah
kami dari perdebatan pendapat, yang biasanya berjalan cukup tajam.
Habib Rizieq, pendiri dan pemimpin Front Pembela Islam (PPI) ditangkap oleh Polda Metro Jaya. Dalam pandangannya, proses penangkapan itu tidak berjalan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang, karenanya menjadi cacat hukum dan ilegal. Ketika protesnya itu tidak didengarkan oleh aparat keamanan, ia pun meminta para pengacaranya untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan. Karena gugatannya itu, maka Polda Metro Jaya segera mengirimkan utusan untuk berunding. Hasil perundingan itu seperti tersirat dalam pemberitaan media massa, akhirnya membuahkan sebuah cara penyelesaian yang unik: Rizieq mencabut tuntutannya dari pengadilan, tetapi oleh pihak kepolisian ia diberi status yang lebih ringan yaitu dirubah dari tahanan Polda Metro Jaya menjadi tahanan rumah (house arrest).
Kejadian itu menunjukan sesuatu yang sangat menarik, yaitu bahwa Habib Rizieq masih menggangap kepolisian sebagai penyelenggara keamanan dan pemeriksa hukum dalam negeri yang memiliki wewenang memeriksa dirinya. Ini berarti, ia masih mengakui sistem hukum yang berlaku di negeri kita, dengan demikian ia mengakui wujud negara yang ada, yang oleh sementara kalangan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, apapun yang ia lakukan, masih dalam kerangka yang ditetapkan oleh Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian, ia tidak menyimpang dari pengakuan akan adanya negara Indonesia, juga kepada sistem hukumnya. Berarti, ia tetap berada dalam kerangka legal yang ada, dan dilindungi oleh kerangka tersebut.
Dengan demikian, Habib Rizieq melindungi dirinya secara legal, betapa jauhnya sekalipun pandangan yang dianutnya dari pandangan lembaga kenegaraan dan lembaga hukum yang ada. Dengan demikian, ia menjaga dirinya dari tindakan apapun yang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Boleh jadi ia melanggar hukum, tetapi justru hukum itulah yang melindunginya dari tindakan apapun oleh negara atas dirinya. Secara teoritis ia terlindung dari tindakan yang tidak berdasarkan hukum, siapapun yang melakukannya. Dengan kata lain, ia memiliki hak asasinya sebagai manusia, yang sekaligus diperolehnya dari kedudukan sebagai warga negara sebuah bangsa yang berdaulat.
Prinsip inilah yang paling penting untuk dipegang oleh seseorang dalam negara ini, yang katanya memiliki kedaulatan hukum. Pasal-pasal dalam undang-undang dasar-lah yang memberikan perlindungan hukum tersebut, yang membedakannya dari subyek politik. Sebagai seorang penduduk biasa, Habib Rizieq memperoleh perlindungan politik dari tindakan apapun, walaupun secara politik pula ia sering menganggu hak-hak warga negara yang lain, seperti ketika ia memerintahkan sweeping. Tindakan untuk mengatasi hal itu adalah tindakan hukum, yang dapat dikenakan atas dirinya. Namun, ia juga memperoleh perlindungan hukum, untuk tidak terkena tindakan hukum lebih jauh dari itu. Prinsip inilah yang melindungi sekaligus mengekang langkah-langkahnya, agar tidak melanggar hukum dan merugikan orang lain. Namun, perlindungan hukum itu juga mencegahnya dari tindakan politik yang tentu merugikan dirinya. Dengan kata lain ia harus bergerak dalam koridor hukum yang berlaku di negeri ini.
Lain halnya dengan Abu Bakar Ba'asyir, yang sejauh ini menolak memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, terlepas dari kenyataan pihak kepolisian "mengambilnya" dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Solo dengan prosedur yang salah dan tidak memenuhi ketentuan hukum. Namun, penolakannya untuk memberikan keterangan hukum, menempatkan tokoh ini dalam kedudukan yang tidak sama dengan Habib Rizieq. Ini tentu akan membawakan konsekuensi-konsekuensinya sendiri. Dengan demikian menjadi nyata, dua orang yang dalam status hukum berkedudukan sama, ternyata dapat mengalami perlakuan yang sangat berbeda satu dari yang lain. Benarlah kata pepatah di atas, "kepala orang sama-sama berbulu pendapat berlain lain" artinya sama-sama memiliki rambut, tapi pemikiran dapat berbeda.
Dengan menolak memberikan keterangan hukum, untuk kepentingan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Abu Bakar Ba'asyir menempatkan diri di luar wewenang hukum. Dengan demikian, ia menjadi orang yang tidak menganggap negara dan hukum memiliki wujud/eksistensi. Dan sudah tentu juga ia tidak dapat bersikap terus demikian, karena negara harus menghadirkan adanya dua buah eksistensi yang berlainan: wujud negara di satu sisi, dan keadilan atas tokoh tersebut di sisi lain. Negara memiliki hak hukum untuk menganggapnya sebagai pemberontak yang melanggar Undang-Undang Dasar, dan dengan demikian dapat memilih salah satu dari dua alternatit berikut: mengusir atau menghukum mati tokoh tersebut. Ini adalah konsekuensi logis dan legal dari tindakan yang dilakukannya sendiri dan Islampun dapat membenarkan hal tersebut.
Ketegasan pihak pemerintah diperlukan, dalam hal ini untuk mencegah anarkhi hukum. Ini juga pernah terjadi di masa pemerintahan Bung Karno dan Panglima Besar Soedirman sebagai panglima angkatan perangnya, yang memerintahkan Sekarmadji Kartosuwiryo untuk mendirikan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Dasar perintah itu adalah ketentuan Perjanjian Renville, bahwa TNI harus ditarik dari kawasan tersebut ke Jawa Tengah. Untuk menghindarkan vacuum di kawasan itu, yang akan dimantaatkan oleh pasukan-pasukan Belanda, maka dibentuklah DI/TII, sudah tentu perintah itu diketahui oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara.
Namun, Sekarmadji Kartosuwiryo terus menggunakan DI/TII untuk membunuh rakyat, melakukan pembakaran dan merampok setelah kemerdekaan tercapai dan penyerahan kedaulatan berlangsung. Pemberontakan dan pemerintah menumpas pemberontakan itu berakhir tahun 1962. Di saat itu, Presiden Soekarno yang juga menjadi kepala pemerintahan, memerintahkan Sekarmadji Kartosuwiryo diadili oleh Mahkamah Militer yang kemudian menjatuhkan hukuman mati, atas diri tokoh dan teman dekat Bung Karno itu. Bung Karno tidak memberikan grasi/pengampunan kepadanya, karena Kartosuwiryo telah memerintahkan pembunuhan rakyat dan perampokan. Bung Karno bahkan memerintahkan pelaksanaan hukum mati atas diri tokoh itu, dan menghilangkan jejak penguburannya di Kepulauan Seribu. Persoalannya tidak rumit kalau kita memiliki keberanian, bukan?
*Artikel ini pernah dimuat di harian Duta Masyarakat, 12 November 2002
Habib Rizieq, pendiri dan pemimpin Front Pembela Islam (PPI) ditangkap oleh Polda Metro Jaya. Dalam pandangannya, proses penangkapan itu tidak berjalan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh undang-undang, karenanya menjadi cacat hukum dan ilegal. Ketika protesnya itu tidak didengarkan oleh aparat keamanan, ia pun meminta para pengacaranya untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan. Karena gugatannya itu, maka Polda Metro Jaya segera mengirimkan utusan untuk berunding. Hasil perundingan itu seperti tersirat dalam pemberitaan media massa, akhirnya membuahkan sebuah cara penyelesaian yang unik: Rizieq mencabut tuntutannya dari pengadilan, tetapi oleh pihak kepolisian ia diberi status yang lebih ringan yaitu dirubah dari tahanan Polda Metro Jaya menjadi tahanan rumah (house arrest).
Kejadian itu menunjukan sesuatu yang sangat menarik, yaitu bahwa Habib Rizieq masih menggangap kepolisian sebagai penyelenggara keamanan dan pemeriksa hukum dalam negeri yang memiliki wewenang memeriksa dirinya. Ini berarti, ia masih mengakui sistem hukum yang berlaku di negeri kita, dengan demikian ia mengakui wujud negara yang ada, yang oleh sementara kalangan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, apapun yang ia lakukan, masih dalam kerangka yang ditetapkan oleh Undang-undang Dasar 1945. Dengan demikian, ia tidak menyimpang dari pengakuan akan adanya negara Indonesia, juga kepada sistem hukumnya. Berarti, ia tetap berada dalam kerangka legal yang ada, dan dilindungi oleh kerangka tersebut.
Dengan demikian, Habib Rizieq melindungi dirinya secara legal, betapa jauhnya sekalipun pandangan yang dianutnya dari pandangan lembaga kenegaraan dan lembaga hukum yang ada. Dengan demikian, ia menjaga dirinya dari tindakan apapun yang tidak sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Boleh jadi ia melanggar hukum, tetapi justru hukum itulah yang melindunginya dari tindakan apapun oleh negara atas dirinya. Secara teoritis ia terlindung dari tindakan yang tidak berdasarkan hukum, siapapun yang melakukannya. Dengan kata lain, ia memiliki hak asasinya sebagai manusia, yang sekaligus diperolehnya dari kedudukan sebagai warga negara sebuah bangsa yang berdaulat.
Prinsip inilah yang paling penting untuk dipegang oleh seseorang dalam negara ini, yang katanya memiliki kedaulatan hukum. Pasal-pasal dalam undang-undang dasar-lah yang memberikan perlindungan hukum tersebut, yang membedakannya dari subyek politik. Sebagai seorang penduduk biasa, Habib Rizieq memperoleh perlindungan politik dari tindakan apapun, walaupun secara politik pula ia sering menganggu hak-hak warga negara yang lain, seperti ketika ia memerintahkan sweeping. Tindakan untuk mengatasi hal itu adalah tindakan hukum, yang dapat dikenakan atas dirinya. Namun, ia juga memperoleh perlindungan hukum, untuk tidak terkena tindakan hukum lebih jauh dari itu. Prinsip inilah yang melindungi sekaligus mengekang langkah-langkahnya, agar tidak melanggar hukum dan merugikan orang lain. Namun, perlindungan hukum itu juga mencegahnya dari tindakan politik yang tentu merugikan dirinya. Dengan kata lain ia harus bergerak dalam koridor hukum yang berlaku di negeri ini.
Lain halnya dengan Abu Bakar Ba'asyir, yang sejauh ini menolak memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, terlepas dari kenyataan pihak kepolisian "mengambilnya" dari Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Solo dengan prosedur yang salah dan tidak memenuhi ketentuan hukum. Namun, penolakannya untuk memberikan keterangan hukum, menempatkan tokoh ini dalam kedudukan yang tidak sama dengan Habib Rizieq. Ini tentu akan membawakan konsekuensi-konsekuensinya sendiri. Dengan demikian menjadi nyata, dua orang yang dalam status hukum berkedudukan sama, ternyata dapat mengalami perlakuan yang sangat berbeda satu dari yang lain. Benarlah kata pepatah di atas, "kepala orang sama-sama berbulu pendapat berlain lain" artinya sama-sama memiliki rambut, tapi pemikiran dapat berbeda.
Dengan menolak memberikan keterangan hukum, untuk kepentingan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Abu Bakar Ba'asyir menempatkan diri di luar wewenang hukum. Dengan demikian, ia menjadi orang yang tidak menganggap negara dan hukum memiliki wujud/eksistensi. Dan sudah tentu juga ia tidak dapat bersikap terus demikian, karena negara harus menghadirkan adanya dua buah eksistensi yang berlainan: wujud negara di satu sisi, dan keadilan atas tokoh tersebut di sisi lain. Negara memiliki hak hukum untuk menganggapnya sebagai pemberontak yang melanggar Undang-Undang Dasar, dan dengan demikian dapat memilih salah satu dari dua alternatit berikut: mengusir atau menghukum mati tokoh tersebut. Ini adalah konsekuensi logis dan legal dari tindakan yang dilakukannya sendiri dan Islampun dapat membenarkan hal tersebut.
Ketegasan pihak pemerintah diperlukan, dalam hal ini untuk mencegah anarkhi hukum. Ini juga pernah terjadi di masa pemerintahan Bung Karno dan Panglima Besar Soedirman sebagai panglima angkatan perangnya, yang memerintahkan Sekarmadji Kartosuwiryo untuk mendirikan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Dasar perintah itu adalah ketentuan Perjanjian Renville, bahwa TNI harus ditarik dari kawasan tersebut ke Jawa Tengah. Untuk menghindarkan vacuum di kawasan itu, yang akan dimantaatkan oleh pasukan-pasukan Belanda, maka dibentuklah DI/TII, sudah tentu perintah itu diketahui oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara.
Namun, Sekarmadji Kartosuwiryo terus menggunakan DI/TII untuk membunuh rakyat, melakukan pembakaran dan merampok setelah kemerdekaan tercapai dan penyerahan kedaulatan berlangsung. Pemberontakan dan pemerintah menumpas pemberontakan itu berakhir tahun 1962. Di saat itu, Presiden Soekarno yang juga menjadi kepala pemerintahan, memerintahkan Sekarmadji Kartosuwiryo diadili oleh Mahkamah Militer yang kemudian menjatuhkan hukuman mati, atas diri tokoh dan teman dekat Bung Karno itu. Bung Karno tidak memberikan grasi/pengampunan kepadanya, karena Kartosuwiryo telah memerintahkan pembunuhan rakyat dan perampokan. Bung Karno bahkan memerintahkan pelaksanaan hukum mati atas diri tokoh itu, dan menghilangkan jejak penguburannya di Kepulauan Seribu. Persoalannya tidak rumit kalau kita memiliki keberanian, bukan?
*Artikel ini pernah dimuat di harian Duta Masyarakat, 12 November 2002
0 komentar:
Posting Komentar